1. Pendahuluan
Manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup manusia
pasti akan melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Manusia hidup hidup
berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil, di dalam
kelompok tersebut dibutuhkan seseorang untuk memimpin kelompok tersebut agar
kelompok tersebut menjadi teratur.
Stogdill (1974) menyatakan
bahwa jumlah macam batasan tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan
jumlah orang yang telah mencoba membuat batasan tentang pengertian tersebut.
Pernyataan ini menggambarkan kemajemukan pengertian kepemimpinan ini.
Manajemen sering dikacaukan
dengan kepemimpinan. Bennis dan Nanus (1985) melihat perbedaan yang mendasar
antara manajemen dan kepemimpinan. To
manage, menurut mereka berarti to
bring about, to accomplish. To have charge of resposibility for, to conduct.
Sedangkan leading adalah influencing, guilding in direction, course, action, opinion.
Hersey dan Blanchard (1982)
mengatakan bahwa: In essence leadership
is a broader concept than management. Namun menurut Davis (1967): Leadership is part of management, but not
all of it. A manager is required to plan and organize, for example, but all we
ask of the leader is that he gets others to follow.
Kepemimpinan lebih
berhubungan dengan efektivitas, sedangkan memanajemeni lebih berhubungan dengan
efisiensi. Bennis mengatakan bahwa pemimpin do
the right things sedangkan manajer do
the things right.
Kepemimpinan merupakan
sesuatu yang penting bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam
organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer.
Seorang manajer, menurut
Drucker (1966) adalah seorang ‘pekerja berpengetahuan’ (knowledge worker), yaitu: the
man who puts to work what he between his ears rather than the brawn of his
muscles or the skill of his hands.
Jika ditinjau, seorang
manajer sebagai suatu sistem (komponen dari sistem organisasi), maka masukan
seorang manajer adalah berbagai bentuk informasi yang diterima melalui alat
inderanya (terutama alat indera penglihatan dan pendengaran). Keluarannya atau
hasil pekerjaannya berbentuk berbagai macam informasi juga seperti misalnya
gagasan-gagasan, jawaban terhadap masalah, kesimpulan, perintah, dan
sebagainya.
Tugas dan fungsi utama
pemimpin pada zaman manapun ialah berperan dalam memberikan jawaban secara arief, efektif, dan produktif atas berbagai tantangan dan
permasalahan yang dihadapi pada zamannya. Hal tersebut dilakukan bersama-sama
dengan orang-orang yang dipimpinnya serta sesuai dengan posisi dan peran masing-masing dari dan dalam
organisasi yang dipimpinnya, serta
dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan peradaban yang menghikmati kehidupan masyarakat bangsa bahkan
bangsa-bangsa.
2. Pola Hubungan Antartenaga Kerja dalam
Perusahaan
Dalam organisasi formal
dapat kita bedakan dua macam manajer sebagai pemimpin, pertama yang
mengepalai keseluruhan organisasi, kedua yang mengepalai satu bagian
atau satu unit dari organisasi. Pemimpin pertama yang mengepalai seluruh
organisasi disebut juga manajer puncak (direktur utama, direktur, atau general
manager). Pemimpin kedua yang mengepalai suatu unit dalam organisasi merupakan
manajer madya dan manajer pertama atau bisa disebut juga dengan supervisor.
Tenaga kerja sebagai
komponen manusia dalam sisten organisasi berhubungan secara terus-menerus
dengan para tenaga kerja lainnya. Setiap tenaga kerja memiliki pola hubungan
antartenaga kerjanya sendiri.Pola hubungan antartenaga kerja dapat di bedakan
dalam empat tingkatan, yaitu:
1.
Manajemen puncak
2.
Manajemen madya
3.
Manajemen pertama, dan
4.
Tenaga kerja produktif
1.
Manajer
Puncak
Manajer puncak lebih banyak berhubungan
dengan orang-orang yang bekerja di luar organisasi perusahaannya. Manajer
puncak secara langsung memipin bawahannya yaitu, para manajer madya.
Karena
itu kepribadian manajer puncak, sistem nilainya, sikap-sikap dan
perilakunya mempunyai dampak pada keseluruhan organisasinya.
2.
Manajer
Madya
Manajer madya mempunyai hubungan dengan
atasan, rekan setingkat, dan bawahan yang memiliki jabatan kepemimpinan.
Manajer madya memiliki peranan ganda.
Dapat berperan sebagai bawahan, rekan, atasan, dan wakil perusahaan.
Manajer madya merupakan penghubung yang
sangat penting dan yang kreatif antara tingkat-tingkat manajemen rendah dan
tinggi.
Kepemimpinan manajer madya, lebih
bercorak perorangan. Manajer madya lebih banyak lebih banyak menghadapi manajer
bawahannya sendiri dari pada secara kelompok.
3.
Manajer
Pertama
Manajer pertama memiliki pola hubungan
antartenaga kerja yang sama dengan pola hubungan antartenaga kerja tingkat
manajemen madya.
Manajer pertama memiliki peranan ganda sebagai
atasan, bawahan, rekan, dan wakil perusahaan.
Manajer pertama juga disebut tenaga kerja
yang berada ditengah (the man in the middle, petit 1975)
antaravmanajemen dan para pekerja.
Jika pandangan antara kedua pihak
berbeda, maka manajer pertama akan merasa terjepit. Kepemimpinannya sangat
ditentukan oleh keadaannya ini. Tergantung dari jenis pekerjaannya manajer
pertama menghadapi bawahannya secara perorangan atau kelompok
4.
Tenaga
Kerja Produktif
Pekerja, tenaga kerja produktif, yang
menduduki jabatan terendah dalam organisasi perusahaan, berhubungan dengan
rekan dan atasannya saja.
Peran utamanya ialah sebagai bawahan. Ia
hanya dapat “melihat” ke samping dan ke atas saja. Tenaga kerja dapat
memberikan pengaruh yang nyata pada keberhasilan kepemimpinan atasannya dan
kemajuan perusahaan.
3. Ciri-ciri Pribadi
3.1. Ciri-ciri Seorang Pemimpin yang Berhasil
Mula-mula
terdapat pandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Maksudnya yang dapat menjadi
pemimpin hanya orang-orang tertentu saja, yang mempunyai bakat untuk memimpin.
Efektivitas kepemimpinan dianggap ditentukan oleh kepribadian pemimpin.
Pemimpin mempunyai kualitas yang lebih baik dari para pengikutnya. Ia mempunyai
ciri-ciri yang tidak dipunyai pengikutnya.
Marat
(1982) mengutip Carter, yang menemukan ciri-ciri perilaku pemimpin yang
berhasil dari penelitian yang dilakukan pada Angkatan Darat Amerika Serikat,
sebagai berikut:
1. Performing professional and technical
speciality;
2. Knowing subordinates and showing
consideration for them;
3. Keeping channels of communication open;
4. Accepting personal responsibility and
setting an example;
5. Imitating and directing action;
6. Training men as a team;
7. Making decisions.
Di
Indonesia dikenal sebelas ciri pribadi yang diharapkan dimiliki oleh seorang pemimpin,
yang dianut oleh TNI Angkatan Darat, yaitu:
1. Takwa, menjalankan segala perintah Tuhan
Yang Maha Esa serta menjauhi larangan-larangannya.
2. Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemuka,
orang yang berada di depan dan selalu memberi teladan kepada orang yang
dipimpinnya.
3. Ing Madya Mangun Karsa, dari tengah
seorang pemimpin saling bahu-membahu dalam bekerja dengan memberi dorongan,
semangat.
4. Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu
memberi dorongan dan arahan kepada apa yang diinginkan anak buahnya.
5. Waspada Purba Wisesa, selalu
berhati-hati dalam segala kondisi, meneliti dan membuat perkiraan keadaan seara
terus-menerus.
6. Ambeg Para Maarta, pandai menentukan
mana yang menurut ruang, waktu dan keadaan patut didahulukan.
7. Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana
serta rendah hati dan correct.
8. Satya, loyalitas timbal-balik dan
bersikap hemat, tidak ceroboh serta memelihara kondisi materiil dengan
kecermatan.
9. Gemi Nastiti, hemat dan cermat, sadar
dan mampu membatasi penggunaan dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar
diperlukan.
10. Belaka, bersifat dan bersikap terbuka,
jujur dan siap menerima segala kritik yang membangun, selalu mawas diri dan
selalu siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.
11. Legawa, rela dan ikhlas untuk pada
waktunya mengundurkan diri dari fungsi kepemimpinannya dan diganti dengan suatu
generasi baru yang telah mewarisi kesepuluh ciri di atas.
Ciri-ciri
pribadi tersebut lebih berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang harus diusahakan
untuk dijalankan, sehingga mempunyai makna sebagai pedoman yang sifatnya
normatif.
Andreas
Dananjaya (1985) menemukan adanya perbedaan dalam nilai operatif pada manajer
yang berhasil dengan manajer yang kurang berhasil. Para manajer yang berhasil
memiliki nilai-nilai operatif yang berhubungan dengan kondisi atau sumber daya
yang dibutuhkan oleh suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan dan
nilai-nilai yang menunjukkan pandangan jauh ke depan dan sikap yang selalu
waspada. Sebaliknya para manajer yang kurang berhasil memiliki nilai-nilai
operatif yang berhubungan dengan prestise atau “gengsi” seseorang.
De
Bono (1986) berdasarkan wawancaranya dengan lima puluh pria dan wanita yang
sangat berhasil dalam bidangnya masing-masing berkesimpulan bahwa ada empat
macam faktor (dua ciri pribadi dan dua lainnya merupakan faktor di luar
dirinya) yang menentukan keberhasilan seseorang atau sekelompok orang. Kedua
ciri pribadi itu adalah:
1. A little madness, orang yang tahu dengan
pasti dan jelas apa yang ia inginkan dan memiliki dorongan yang sangat kuat
untuk mencapai tujuannya.
2. Very talented, orang yang mempunyai
bakat yang sangat menonjol di bidang tertentu.
Kedua
faktor lainnya adalah:
3. Rapid Growth field. Orang yang bekerja
dalam bidang yang berkembang dengan sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak
untuk berhasil, biasanya ada pada bidang teknologi khususnya komputer merupakan
bidang yang berkembang dengan cepat.
4. Luck. Orang yang beruntung berada di
tempat pada saat yang tepat untuk melakukan usahanya.
3.2. Ciri-ciri Pemimpin dari Bidang Manajemen
Fungsional.
Berdasarkan
tugas-tugas dan wewenangnya, jabatan-jabatan manajemen dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa jenis kelompok jabatan, sesuai dengan bidang manajemen fungsional.
Kelompok jabatan manajemen yang berbeda-beda menuntut kelompok ciri-ciri
pribadi yang berbeda-beda pula.
Huttner,
Levy, Rosen dan Stopol (1959) telah meneliti data yang diperoleh dari tes-tes
kuantitatif yang diberikan kepada 250 manajer dari dua belas perusahaan besar
dan kecil. Mereka antara lain menemukan perbedaan dalam ciri-ciri pribadi
antara manajer dari bidang-bidang rekayasa (engineering)
dan penelitian & pengembangan, penjualan, administrasi & akuntansi, dan
produksi.
Munandar
(1977) membuat studi perbandingan antara manajer bidang produksi dan manajer
bidang penjualan pada enam perusahaan di Jakarta. Antara lain ditemukan bahwa
para manajer penjualan cenderung lebih ramah, antusias, lihai, tergantung pada
kelompok dan saksama dalam penjualan. Para manajer produksi cenderung untuk lebih
menjauhkan diri (aloof), serius,
terus terang, dapat berdiri sendiri (self
sufficient) dan tidak begitu mempedulikan peraturan pergaulan.
Hasil-hasil penelitian di
atas seolah-olah menunjang pandangan bahwa kelompok jabatan manajer yang
berbeda-beda memerlukan kelompok ciri-ciri pribadi yang berbeda-beda.
Penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak serupa.
3.3. Ciri-ciri Pemimpin pada Tingkat Organisasi yang Berbeda.
Ghisseli (1971) menemukan sembilan
ciri-ciri pribadi, yang ia namakan bakat manajerial (managerial talent), yang memainkan peranan yang penting dalam
keberhasilan seorang manajer. Ciri-ciri tersebut, menurut urutan
kepentingannya, ialah:
1. Supervisory ability;
2. The need for occupational achievement;
3. The need for self-actualization;
4. Intelligence;
5. Self-assurance;
6. Desiciveness;
7. The lack of the need for security;
8. The lack of working class affinity;
9. Initiative.
Makin
tinggi tingkat jabatan manajer, makin “tinggi” ciri-ciri pribadi tersebut
dimiliki oleh para manajer. Para manajer yang berhasil memiliki ciri-ciri
tersebut dalam derajat yang lebih tinggi juga daripada para manajer yang kurang
berhasil.
Close
(1975) dari penelitiannya pada empat tingkat organisasi di suatu perusahaan
produk pertanian menemukan bahwa makin rendah tingkat jabatan manajemen, makin
dogmatis pemikiran para manajernya.
3.4. Ciri-ciri Manajer Puncak yang Berhasil.
Bennis dan Nanus (1985) menemukan
dalam penelitian mereka terhadap 90 pemimpin (semuanya adalah manajer puncak = chief executive officers) yang berhasil
empat macam keterampilan dalam menangani manusia, yang mereka namakan:
1. Attention through vision. Pemimpin harus
mempunyai visi. Visi atau bayangan masa depan usaha mereka sangat jelas dan
menarik perhatian orang. Melalui bayangan ini mereka desak untuk mendapatkan
hasil. Bennis dan Nanus mengatakan:
“The
visions the various leaders conveyed seemed to bring about a confidence on the
part of the employees. A confidence that instilled in them a belief that they
were capable of performing the necessary acts.”
2. Meaning through communication. Bayangan
masa depan usaha dari pemimpin harus dapat dikomunikasikan oleh pemimpin kepada
bawahannya. Dalam komunikasi mereka ini para pemimpin sangat jelas dan rinci.
3. Trust through positioning. Jika vision atau bayangan masa depan usaha
telah dikomunikasikan, maka vision
perlu diimplementasi. Positioning adalah
perangkat tindakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan vision dari pemimpin. Untuk mendapatkan
kepercayaan dari para pengikutnya pemimpin harus berperilaku konsisten dan
tetap berada pada jalur yang telat disepakati.
4. The deployment of self through positive
self-regard and through the Wallenda factor. Faktor utama dari pemimpin
yang berhasil ialah peluasan kreatif dari diri, yang dapat dilakukan melalui
menghargai diri secara positif. Menurut Bennis dan Nanus menghargai diri secara
positif bukan merupakan pemusatan pada diri yang egoistik, melainkan terdiri
dari tiga komponen utama: Pengetahuan tentang kekuatan-kekuatannya; kemampuan
untuk merawat dan mengembangkan kekuatan-kekuatan tersebut; kemampuan untuk
secara tajam melihat perbedaan antara kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahannya dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi.
Peluasan
diri melalui faktor Wallenda pada hakikatnya berarti bahwa dalam melakukan
berbagai macam hal kita harus memusatkan perhatian kita pada apa yang akan
dilakukan dan tidak memikirkan tentang kemungkinan akan kegagalan. Karl
Wallenda adlaah seorang akrobat yang jalan di atas tali yang dapat meninggal
setiap kali ia jalan di atas tali pada ketinggian tertentu. Ia tidak pernah
memikirkan tentang kegagalan. Pada tahun 1978 ia terjatuh dan meninggal.
Istrinya ingat bahwa hari itu untuk pertama kali Wallenda berpikir tentang
kegagalan. Rupanya ia mencurahkan seluruh tenaganya pada usaha untuk tidak
jatuh dan bukan untuk jalan di atas tali.
Para
manajer puncak berorientasi pragmatis, mereka memimpin organisasi sesuai dengan
apa yang mereka pikir paling baik. Kecenderungan umum masa kini ialah memimpin
dan memanajemeni berdasarkan pengalaman dan praktek dan tidak berdasarkan
konsep-konsep teoretis.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tampaknya:
1. Ada
ciri-ciri pribadi yang secara umum diperlukan oleh setiap jabatan manajemen
dengan derajat kualitas yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan manajemennya.
2. Ada
sekelompok ciri pribadi yang menentukan keberhasilan seorang manajer puncak.
3. Setiap
bidang manajemen fungsional (misalnya manajemen bidang keuangan, manajemen
bidang produksi, manajemen bidang pemasaran, manajemen bidang sumber daya
manusia) memerlukan seperangkat ciri pribadi yang khas, yang sesuai untuk dapat
berhasil dalam kepemimpinannya.
Di
samping penelitian tentang ciri-ciri pribadi dan pemimpin/manajer yang
berhasil, dimana ciri-ciri pribadi dilihat pengaruhnya dalam satu kombinasi
ciri pribadi, dalam interaksi ciri-ciri pribadi dengan organisasi kerjanya,
maka penelitian tentang kepemimpinan juga dilakukan dengan fokus pada perilaku
pemimpin yang efektif.
Efektivitas
kepemimpinan bukannya hanya ditentukan oleh pemimpin, melainkan ditentukan pula
oleh bawahannya, atasannya, jenis pekerjaannya, teknologi yang digunakan,
lingkungan fisiknya (Reddin, 1970).
4.
Perilaku Pemimpin yang Efektif – Gaya Manajemen
Melalui penelitian ditemukan adanya beberapa kelompok
perilaku pemimpin yang dalam kombinasinya mengarah ke kepemimpinan yang berhasil. Dalam kombinasi yang lain
kelompok perilaku pemimpin justru mengarah ke kepemimpinan yang kurang efektif.
Ditemukanlah berbagai gaya kepemimpinan atau gaya manajemen, dimana diduga
semula bahwa ada satu gaya manajemen yang paling efektif. Terbukti bahwa tidak
ada satu pun gaya manajemen yang efektif untuk setiap situasi
kepemimpinan/manajemen. Setiap situasi menuntut adanya gaya kepemimpinan
tertentu.
4.1.
Kajian Ohio State University
Pada tahun 1956 sekelompok peneliti, antara lain Stogdill,
Fleishman, dan lain-lain dari Ohio State University mengembangkan Kuesioner
Uraian Perilaku Pemimpin (Leader Behavior Description Questionaire – LBDQ) yang
merupakan alat untuk menguraikan bagaimana seorang pemimpin melakukan
kegiatan-kegiatannya. Dalam berbagai penelitian mereka selalu menemukan dua
dimensi utama dari perilaku pemimpin yang kemudian dikenal sebagai Penenggangan
(Consideration) dan Memprakarsai Struktur (Initiating Structure).
Penenggangan menggambarkan derajat dan corak hubungan seorang
pemimpin dengan bawahannya, yang ditandai oleh saling percaya. Penghargaan
terhadap gagasan bawahan dan Peneggangan terhadap perasaan bawahan. Pemimpin semacam ini sangat memperhatikan
kesenangan, kesejahteraan, status, dan kepuasan anak buahnya.
Memprakarsai Struktur menggambarkan sejauh mana seorang
pemimpin memberi batasan dan struktur kepada perannya dan peran bawahannya
untuk mencapai tujuan kelompoknya.
Dengan dua dimensi Peneggangan dan Memprakarsai Struktur
dapat diperoleh empat macam gaya kepemimpinan, yaitu: (1) Penenggangan rendah,
Memprakarsai Struktur rendah, (2) Penenggangan tinggi, Memprakarsai Struktur
rendah, (3) Penenggangan tinggi, (4) Penenggangan rendah, Memprakarsai Struktur
tinggi.
Stogdill (1976) setelah mem[pelajari penelitian-penelitian
tentang keempat gaya kepemimpinan tersebut akhirnya menyimpulkan bahwa Research in a variety of situations
indicates that leaders are rated more effective when they score high in both
Consideration and Initiating Structure. Ia selanjutnya juga meneukan bahwa
:
a. Produktivitas
kelompok sedikit lebih tinggi jika dihubungkan dengan Struktur daripada
jika dihubungkan dengan Penenggangan.
b. Kepuasan
anggota sedikit lebih tinggi jika dihubungkan dengan Penenggangan daripada
jika dihubungkan dengan Struktur
c. Kelekatan
kelompok (group cohesiveness) memiliki hubungan yang kira-kira sama seringnya
dengan Peneggangan dan struktur
4.2. Garida Manajerial
Blake dan Mouton (1964) dalam mengembangkan garida manajerial
(managerial grid) menggunakan dua
dimensi yaitu garis tegak dan grais mendatar. Garis tegak yang dibagi kedalam
bagian yang sama besar adalah dimensi Perhatian terhadap Manusia (PM), garis
mendatar, yang juga dibagi kedalam Sembilan bagian yang sama, adalah dimensi
Perhatian terhadap Produksi (PP). Garida manajerial terdiridari 81 sel, dan
setiap sel mencerminkan perilaku pemimpin berdasarkan kedua dimensi tersebut.
Namun demikian, mereka hanya membedakan lima gaya manajemen, yang masing-masing
merupakan kombinasi dari dua angka sesuai dengan tempat dari sel tersebut,
yaitu :
1,1 : Penggunaaan upaya yang minimum untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan yang dituntut telah cukup untuk mempertahankan
keanggotaan organisasi (PP dan PM rendah)
9,1 :
Efisiensi dalam organisasi dihasilkan dari pengaturan kondisi kerja sedemikian
rupa
sehingga unsur manusia hanya sedikit sekali berpengaruh
(PP tinggi, PM rendah)
9,9 :
Pencapaian kerja yang berhasil diperoleh dari orang yang terikat (commited);
saling
ketergantungan melalui suatu kepentingan bersama dalam
tujuan organisasi mengarah pada hubungan-hubungan dari kepercayaan dan hormat.
1,9 :
Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kebutuhan orang untuk hubungan yang
memuaskan
mengarah kepada satu suasana organisasi dan tempo kerja yang ramah dan
menyenangkan.
5,5 :
Prestasi kerja organisasi yang serasi mungkin melalui penyeimbangan dari
keperluan
untuk kerja dengan semangat kerja dari orang pada tingkat
yang memuaskan
Garida manajerial telah sangat banyak digunakan dalam
program-program pengembangan manajemen. Popularitas dari teori ini terletak
antara lain pada kemudahan untuk menangkap gagasan dasar dan ancangan positif
untuk mengelola sebagaimana terungkap melalui gaya 9,9
4.3. Teori “Contingency”
Model contingency
dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967). Menurut model
ini tinggi-rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh system
motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan
mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk menilai system motivasi dari pemimpin, pemimpin harus
mengisi suatu skala sikap dalam bentuk sekala semantic differensial. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak
psikologis yang dirasakan oleh pemimpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja
yang paling tidak disenangi” (Least
Preffered Coworker = LPC). Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang
tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship
oriented), suatu konsep yang mempunyai persamaan dengan konsep Penenggangan
(Consideration). Sebaliknya skor LPCD
yang rendah lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented), yang mirip pengertiannya dengan Memprakarsai
Struktur (Initiating Structure).
Situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan
dan mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi,
yaitu:
1) Hubungan
pemimpinanggota (leader-member relations):
hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya.
2) Struktur
Tugas (task structure): Derajat
struktur dari tugas yang diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.
3) Kekuasaan
kedudukan (position power): kekuasaan
dan kewenangan yang terberikan dalam kedudukannya.
Berdasarkan
ketiga variable ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungan bagi
pemimpin. Situasi dengan derajat
keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin anggota
baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling
tidak mengutungkan ialah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik,
struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.
Dalam
meneliti kembali kajian-kajian kepemimpinan yang lampau dan menganalisis
kajian-kajian yang baru Fiedler menemukan bahwa:
1. Pemimpin
dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk
berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan maupun yang
sangat tidak menguntungkan pemimpin
2. Pemimpin
dengan skor LPC yang tinggi (pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung
untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sedang derajat
keuntungannya
Kedua
kesimpulan di atas ini berlaku terutama untuk kelompok-kelompok interaksi.
Fiedler membedakan antara kelompok-kelompok interkasi, koaksi dan konteraksi (interacting,
coacting groups).
Dalam
kelompok interaksi dituntut koordinasi yang ketat dari para anggota kelompok
dalam melaksanakan tugas-tugas utama mereka. Para anggota kelompok saling
tergantung dalam arti bahwa sulit untuk menentukan koordinasi seseorang dalam
mencapai tujuan kelompok.
Kelompok
koaksi juga bekerja sama pada satu tugas bersama. Namun setiap anggota kelompok
berdiri dan prestasi kerjanya tergantung pada kecakapan, keterampilan dan
motivasinya sendiri.
Kelompok
konteraksi terdiri dari orang-orang yang bekerja sama untuk tujuan
perundingan dan perujukan dari tujuan dan pandangan yang saling bertentangan.
Sebagainya
telah disinggung pada subbab pola hubungan antartenaga kerja dalam perusahaan,
pada manajer pertama lebih banyak berhubungan dengan kelompok interaksi
daripada kelompok koaksi dan tidak membawahi kelompok konteraksi. Para manajer
madya dan puncak lebih banyak berhubungan dengan kelompok koaksi dan konteraksi
sebagai bawahan.
Kesimpulan
Fiedler di atas lebih berlaku untuk kepemimpinan pada tingkat manajemen
pertama.
4.4 Teori Tiga Dimensi
Reddin
(1970) mengembangkan teori tiga dimensinya dengan menambahkan dimensi ketiga
pada dimensi dari Orientasi-Tugas (OT) dan dimensi Orientasi-Hubungan (OH).
Dimensi ketiga merupakan dimensi efektivitas. Dengan menggunakan OH sebagai
sumbu tegak dan OT sebagai sumbu mendatar ia meneukenali empat gaya dasar dari
perilaku manajerial, yaitu:
1. Separated : Perilaku OT dan OH digunakan
sedikit sekali.
2. Related : Perilaku OH yang terutama digunakan.
3. Integrated : Perilaku OH dan OT banyak
digunakan.
4. Dedicated : Perilaku OT yang terutama
digunakan.
Tidak
ada gaya manajerial yang ideal. Setiap gaya manajerial sesuai untuk satu
situasi tertentu dan tidak sesuai untuk banyak situasi lainnya. Seorang manajer
harus mencocokan gaya dasarnya dengan kebutuhan atau tuntutan dari situasi.
Gaya dasar related misalnya, jika digunakan dalam situasi yang sesuai dinamakan
gaya developer. Sedangkan jika gaya dasar tersebut digunakan dalam situasi yang
tidak sesuai, maka gayanya diberi nama gaya missionary.
Di
samping kedelapan gaya manajerial Reddin mengajukan konsep-konsep:
Style
flexibility vs. Style drift
Style
resilience vs. Style rigidity
Manajer
yang berhasil mengubah-ubah gaya manajerial sesuai dengan tuntutan situasi yang
berubah dikatakan mempunyai style flexibility. Sebaliknya, jika penggantian
gaya tidak sesuai dengan situasi yang berubah, maka dikatakan bahwa manajer
mempunyai style drift.
Dalam
situasi dimana rentang perilaku yang sempit adalah yang sesuai, maka manajer
yang mempertahankan gaya dasarnya, yang mempunyai fleksibilitas rendah,
dikatakan mempunyai style resilience. Sebaliknya jika situasi menuntut satu
rentang perilaku yang luas, maka manajer yang mempertahankan satu gaya dasar
dikatakan mempunyai style rigidity.
Dapat
disimpulkan bahwa menurut teori tiga dimensi, seorang manajer harus dapat
menggunakan gaya manajerial sesuai dengan tuntutan situasi sesaat, mengubah
gaya jika memang diperlukan dan mempertahankan gaya jika situasi tidak menuntut
perubahan.
4.5 Teori Kepemimpinan
Situasional
Teori
kepemimpinan situasional, yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982),
yang merupakan pengolahan dari model efektivitas pemimpin yang tiga dimensi,
didasarkan atas hubungan kurvalinear antara perilaku tugas dan perilaku
hubungan dan kedewasaan. Teori ini berusaha untuk memberikan pemahaman kepada
pemimpin tentang kaitan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat
kedewasaan dari para pengikutnya.
Tingkat
kedewasaan (maturity level) dari para bawahan menentukan gaya efektif dari
pemimpin, seperti pada gambar dibawah ini.
Dimulai
dengan perilaku tugas yang berstruktur, yang sesuai dalam bekerja dengan
bawahan yang belum dewasa, teori ini menyarankan bahwa perilaku pemimpin harus
bergerak melalui (1) tugas tinggi-hubungan rendah (dinamakan gaya telling) ke
(2) tugas tinggi-hubungan tinggi (haya selling) ke (3) tugas rendah-hubungan
tinggi (gaya participating) dan ke (4) tugas rendah-hubungan rendah (gaya
delegating), jika kita mengikuti perkembangan bawahan dari tidak dewasa sampai
ke dewasa.
Kedewasaan
(maturity) dalam teori kepemimpinan situasional ini diartikan sebagai “...the
ability and willingness of people to take responsibility for directing their
own behavior”. Variabel-variabel dari kedewasaan ini harus diperhitungkan hanya
dalam kaitannya dengan satu tugas tertentu yang harus dilaksanakan. Artinya seseorang
atau satu kelompok tidak dewasa atau dewasa secara keseluruhan. Setiap orang
cenderung lebih dewasa untuk tugas tertentu dan kurang dewasa untuk tugas lain.
4.6 Kepemimpinan dan
Pengambilan Keputusan
Teori
ini dikembangkan oleh Vroom dan Yetton (1973) dan disebut pula sebagai model
normatif tentang kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh
corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil.
Model
mereka dinamakan normatif, karena mengarah ke pemberian suatu rekomendasi
tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Pada
hakikatnya, model ini dapat digunakan sebagai alat untuk:
a. Membantu mengenali berbagai jenis situasi
pemecahan persoalan secara berkelompok
(group problem-solving situations)
b. Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang
dianggap layak untuk setiap situasi.
Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu:
1. Klasifikasi Gaya Kepemimpinan
Parameter yang pertama meliputi suatu
klasifikasi dari gaya kepemimpinan. Mulai dari
gaya kepemimpinan yang sepenuhnya otokratik sampai demokratik.
2. Kriteria Efektivitas Keputusan
Parameter
yang kedua dari model meliputi kriteria yang dapat digunakan untuk
mempertimbangkan efektivitas dari keputusan-keputusan yang diajukan dalam
setiap situasi. Kriteria ini mencakup mutu dari keputusan, penerimaan keputusan
oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk melaksanakan keputusan dan jumlah
waktu yang diperlukan untuk sampai pada pemecahannya.
3. Kriteria Penemukenalan Jenis Situasi Pemecahan
Persoalan
Parameter
ketiga yang penting meliputi suatu
perangkat dari kriteria dasar yang mengenali berbagai jenis situasi pemecahan
persoalan. Kriteria disajikan dengan menggunakan perangkat pertanyaan, kemudian
mereka memberikan rekomendasi tentang gaya-gaya kepemimpinan mana yang
sesuai/layak untuk digunakan.
5.
Corak interaksi pemimpin dengan bawahannya
Hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya merupakan
hubungan saling ketergantungan yang tidak seimbang. Bawahan pada umumnya
tergantung pada pimpinan daripada sebaliknya. Dalam proses berinteraksi ,
pemimpin akan mempengaruhi bawahannya agar berperilaku sesuai dengan
harapannya. Corak interaksi ini lah yang menentukan keberhasilan pemimpin dalam
kepemimpinannya. Teori ini sesuai dengan teori kepemimpinan transaksional dan
transformasional yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1994).
Pada pendekatan perilaku pemimpinan yang efektif, seperti
pada teori contingency dari Fiedler, gaya kepemimpinan disesuaikan dengan
kondisi bawahannya. Pemimpin mendiagnosi dahulu kondisi bawahannya kemudian ia
menggunakan gaya kepemimpinan yang dianggap sesuai dengan kondisi bawahannya.
Pada kepemimpinan transaksional dan transformasional pemimpin berupaya merubah
bawahannya agar mau bekerja lebih keras mencapai prestasi lebih tinggi dan
bermutu.
5.1 Kepemimpinan
transaksional
Dalam bentuk seperti ini pemimpin berinteraksi dengan
bawahannya dengan proses berinteraksi Bass dan Avolio(1994) membahas empat
macam interaksi seperti:
1. Contingent reward
Ialah, Jika bawahannya melakukan pekerjaan perusahaan
yang menguntungkan perusahaan maka kepada mereka dijanjikan imbalan yang
setimpal.
2.
Management By Exception-Active
Manajer secara aktif dan ketat memantau pelaksanaan
pekerjaan bawahannya agar mereka tidak melakukan kesalahan – kesalahan atau
kegagalan dalam melaksanakan perkerjaannya atau agar kesalahan dan kegagalannya
dapat segera diketahui dan segera dapat diperbaiki.
3. Management By Exception- Passive
Transaksinya ialah:” silahkan
melaksanakan tugas pekerjaan anda jika timbul masalah, atau jika anda bertindak
salah, usahakan mengatasi masalah, atau memperbaiki kesalahan anda sendiri.
Saya baru akan membantu anda, jika saya lihat anda tidak mampu mengatasi
masalah atau memperbaikinya”.
4. Laisser- Faire
Manajer membiarkan bawahannya melakukan tugas
pekerjaannya tanpa ada pengawasan dari dirinya. Mutu unjuk kerjanya seluruhnya
tanggung jawab bawahannya.
Dari keempat ciri kepemimpinan transaksional diatas dapat
disimpulkan adanya derajat kepercayaan dari atasan terhadap bawahannya yang
berbeda- beda. Efektif tidaknya kepemimpinan atasan tergantung pada derajat
ketepatan pengenalan bawahan oleh atasan.
5.2 Kepemimpinan
Transformasional
Dalam interaksi ini pemimpin mengubah bawahannya, sehingga
tujuan kelompok kerjanya dapat dicapai bersama. Lima aspek kepemimpinan
transformasional ialah:
1. Attibuted Charisma
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan
kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri. Ia sebagai pemimpin
bersedia memberikan pengorbanan untuk kepentingan perusahaan sehingga bawahan
merasa tenang berada dekat dengan pemimpinnya dan pemimpin pun dapat tenang
menghadapi situasi yang kritikal, dan yakin dapat berhasil mengatasinya.
2. Inspirational
Leadership/ Motivation
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya,
antara lain dengan menentukan standar- standar tinggi, memberikan keyakinan
bahwa tujuan dapat dicapai. Bawahan merasa mampu melakukan tugas pekerjaannya,
mampu memberikan berbagai macam gagasan dan merasa diberi inspirasi oleh
pemimpinnya.
3. Intellectual Stimulation
Bawahan merasa bahwa pimpinan mendorong mereka untuk
memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk mencari cara- cara baru. Dalam
melaksanakan tugas, merasa mendapatkan cara baru dalam mempersepsi tugas- tugas
mereka.
4.
Individualized Consideration
Pemimpin memperlakukan setiap bawahannya dengan baik
sehingga menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melalukan
pekerjaannya, dapat memberi sumbangan yang berarti untuk tercapainya tujuan
kelompok.
5.
Idealized Influence
Pemimpin berusaha melalui pembicaraan mempengaruhi
bawahannya dengan menekan pentingnya nilai-nilai dan keyakinan , tekad mencapai
tujuan agar bawahannya dapat menyelesaikan pekerjaannya penuh dengan keyakinan
dan tekad yang kuat.
Daftar Pustaka
Munandar. (1998). Psikologi
industri dan organisasi. Salemba: UI PRESS