Rabu, 02 Oktober 2013

Kognisi Sosial: Heuristik dan Pemrosesan Otomatis (Psikologi Sosial 1)



·      Heuristik dan Pemrosesan Otomatis dalam Kognisi Sosial: Bagaimana Mengurangi Usaha Kita dalam Kognisi Sosial
Pada awal bab ini telah dipaparkan sebuah kejadian di mana seorang pengemudi yang sedang berbicara di telepon genggamnya tanpa disadari mengemudikan mobilnya ke perempatan jalan yang ramai walaupun lampu lalu lintas masih menunjukkan warna merah. Satu alasan mengapa ini bisa terjadi adalah kapasitas kognitif yang cukup untuk bisa berkendara dengan aman, meskipun ia sudah sangat terlatih mengendarai mobil dan biasanya ia dapat melakukannya dengan sedikit atau tanpa perhatian. Pendek kata, ia mungkin telah memasuki suatu keadaan Kejenuhan Informasi (information overload), Kejenuhan Informasi adalah suatu keadaan di mana pengolahan informasi kita telah berada di luar kapasitas kemampuan yang sesungguhnya. Karena cukup sering menghadapi situasi seperti ini, kita menggunakan berbagai strategi untuk melebarkan kapasitas kognitif--untuk bisa melakukan lebih banyak dengan usaha yang lebih sedikit. Supaya berhasil, berbagai strategi tersebut harus memenuhi dua persyaratan yaitu harus menyediakan cara yang cepat dan sederhana untuk dapat mengolah informasi sosial dalam jumlah banyak, dan harus dapat digunakan—harus berhasil. Banyak jalan pintas yang berpotensi untuk mengurangi usaha mental, namun di antara jalan pintas tersebut mungkin yang paling berguna adalah heuristik (heuristics). Heuristik adalah aturan sederhana untuk membuat keputusan kompleks atau untuk menarik kesimpulan secara cepat dan seakan tanpa usaha yang berarti. Jenis Heuristik ada 2, yaitu:
1. Heuristik keterwakilan (heuristic representativeness): Sebuah strategi untuk membuat penilaian berdasarkan pada sejauh mana stimuli atau peristiwa tersebut mempunyai kemiripan dengan stimuli atau kategori yang lain. Contoh: Kita mengenal Tika sebagai pribadi yang teratur, ramah, rapi, memiliki perpustakaan di rumahnya dan sedikit pemalu. Namun kita tidak mengetahui pekerjaannya. Mungkin kita langsung menilainya sebagai pustakawan. Dengan kata lain, kita menilai berdasarkan: semakin mirip seseorang dengan ciri-ciri khas orang-orang dari suatu kelompok, semakin mungkin ia merupakan bagian dari kelompok tersebut.
2. Heuristik ketersediaan (availability heuristic): Sebuah strategi untuk membuat keputusan berdasarkan seberapa mudah suatu informasi yang spesifik dapat dimunculkan dalam pikiran kita. Heuristic ini dapat mengarahkan kita untuk melebih-lebihkan kemungkinan munculnya peristiwa dramatis, namun jarang, karena peristiwa itu mudah masuk ke pikiran kita. Contoh: Banyak orang merasa lebih takut tewas dalam kecelakaan pesawat daripada kecelakaan di darat. Hal ini karena fakta bahwa kecelakaan pesawat jauh lebih dramatis dan menyedot lebih banyak perhatian media. Akibatnya, kecelakaan pesawat lebih mudah terpikir sehingga berpengaruh lebih kuat dalam penilaian individu. Heuristic ini berhubungan dengan proses pemaparan awal (priming)—meningkatnya ketersediaan informasi sebagai hasil dari sering hadirnya rangsangan atau peristiwa-peristiwa khusus. Pemaparan awal bisa muncul bahkan ketika individu tidak sadar akan adanya rangsangan yang telah dipaparkan sebelumnya—disebut juga pemaparan awal otomatis.

·      Pemrosesan Otomatis dalam Kognisi Sosial: Bagaimana Kita Mengatur untuk Melakukan Dua Hal Pada Satu Waktu
Cara lain untuk mengatasi fakta bahwa dunia sosial bersifat kompleks, sementara kapasitas pemrosesan informasi kita terbatas adalah dengan melakukan banyak aktivitas—mencakup beberapa aspek pemikiran sosial dan perilaku sosial—secara otomatis (atau yang biasa disebut oleh para psikolog sebagai pemrosesan otomatis atau automatic processing). Pemrosesan otomatis (automatic processing) yang terjadi ketika, setelah berpengalaman melakukan suatu tugas atau mengolah suatu onformasi tertentu yang seakan tanpa perlu usaha yang besar, secara otomatis dan tidak disadari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa begitu teraktivasi, skema dan kerangka mental lainnya dapat mempengaruhi tidak hanya pemikiran sosial, tapi juga perilaku sosial. Contohnya: Saat pertama kali belajar sepeda, kita memerlukan perhatian khusus dalam mengendarainya. Seiring dengan berkembangnya keahlian bersepeda kita, kita dapat melakukan tugas-tugas lain seperti berbicara sambil bersepeda. Jadi, sering kali pergantian dari pemrosesan terkontrol (controlled processing—yang penuh dengan usaha dan kesadaran) ke pemrosesan otomatis merupakan sesuatu yang kita inginkan, karena proses ini dapat menghemat banyak usaha.
Hal ini berlaku juga pada kognisi sosial. Contohnya, ketika kita memiliki skema tentang kelompok sosial tertentu (misalnya dokter atau profesi-profesi lain), kita memiliki cara singkat untuk berpikir mengenai ciri dari anggota kelompok profesi tersebut. Misalnya kita dapat berasumsi bahwa semua dokter sibuk, jadi penting untuk bicara tanpa basa-basi dengan mereka; bahwa mereka pintar namun tidak selalu memiliki tenggang rasa; dan seterusnya. Namun biasanya, kemudahan dan efisiensi berpikir ini juga diikuti oleh kemungkinan hilangnya akurasi. Contohnya, bukti yang terus bertambah menunjukkan bahwa satu jenis skema yaitu stereotip bisa teraktivasi secara otomatis dan tanpa disadari oleh ciri-ciri fisik suatu kelompok tertentu. Jadi, kulit gelap dapat secara otomatis memicu stereotip negatif mengenai orang Africa-America walaupun orang tersebut tidak memiliki intensi untuk berpikir mengenai stereotip ini. Sejalan dengan ini, sikap (keyakinan dan evaluasi terhadap aspek tertentu dari dunia sosial) dapat secara otomatis dipicu hanya oleh kehadiran dari objek sikapnya. Pemrosesan otomatis seperti ini tentunya dapat mengarah pada kesalahan yang serius.

Sumber:
Baron, R. A., Bryne, D. (2003). Psikologi sosial jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kepemimpinan dalam Perusahaan (Psikologi Industri dan Organisasi)



1.   Pendahuluan
      Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup manusia pasti akan melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Manusia hidup hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil, di dalam kelompok tersebut dibutuhkan seseorang untuk memimpin kelompok tersebut agar kelompok tersebut menjadi teratur.
       Stogdill (1974) menyatakan bahwa jumlah macam batasan tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang yang telah mencoba membuat batasan tentang pengertian tersebut. Pernyataan ini menggambarkan kemajemukan pengertian kepemimpinan ini.
       Manajemen sering dikacaukan dengan kepemimpinan. Bennis dan Nanus (1985) melihat perbedaan yang mendasar antara manajemen dan kepemimpinan. To manage, menurut mereka berarti to bring about, to accomplish. To have charge of resposibility for, to conduct. Sedangkan leading adalah influencing, guilding in direction, course, action, opinion.
       Hersey dan Blanchard (1982) mengatakan bahwa: In essence leadership is a broader concept than management. Namun menurut Davis (1967): Leadership is part of management, but not all of it. A manager is required to plan and organize, for example, but all we ask of the leader is that he gets others to follow.
       Kepemimpinan lebih berhubungan dengan efektivitas, sedangkan memanajemeni lebih berhubungan dengan efisiensi. Bennis mengatakan bahwa pemimpin do the right things sedangkan manajer do the things right.
       Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer.
       Seorang manajer, menurut Drucker (1966) adalah seorang ‘pekerja berpengetahuan’ (knowledge worker), yaitu: the man who puts to work what he between his ears rather than the brawn of his muscles or the skill of his hands.
       Jika ditinjau, seorang manajer sebagai suatu sistem (komponen dari sistem organisasi), maka masukan seorang manajer adalah berbagai bentuk informasi yang diterima melalui alat inderanya (terutama alat indera penglihatan dan pendengaran). Keluarannya atau hasil pekerjaannya berbentuk berbagai macam informasi juga seperti misalnya gagasan-gagasan, jawaban terhadap masalah, kesimpulan, perintah, dan sebagainya.
       Tugas dan fungsi utama pemimpin pada zaman manapun ialah berperan dalam memberikan jawaban secara arief, efektif, dan produktif atas berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi pada zamannya. Hal tersebut dilakukan bersama-sama dengan orang-orang yang dipimpinnya serta sesuai dengan posisi dan peran masing-masing dari dan dalam organisasi yang dipimpinnya, serta dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang menghikmati kehidupan masyarakat bangsa bahkan bangsa-bangsa.
2.   Pola Hubungan Antartenaga Kerja dalam Perusahaan
Dalam organisasi formal dapat kita bedakan dua macam manajer sebagai pemimpin, pertama yang mengepalai keseluruhan organisasi, kedua yang mengepalai satu bagian atau satu unit dari organisasi. Pemimpin pertama yang mengepalai seluruh organisasi disebut juga manajer puncak (direktur utama, direktur, atau general manager). Pemimpin kedua yang mengepalai suatu unit dalam organisasi merupakan manajer madya dan manajer pertama atau bisa disebut juga dengan supervisor.
Tenaga kerja sebagai komponen manusia dalam sisten organisasi berhubungan secara terus-menerus dengan para tenaga kerja lainnya. Setiap tenaga kerja memiliki pola hubungan antartenaga kerjanya sendiri.Pola hubungan antartenaga kerja dapat di bedakan dalam empat tingkatan, yaitu:
1.        Manajemen puncak
2.        Manajemen madya
3.        Manajemen pertama, dan
4.        Tenaga kerja produktif


1.        Manajer Puncak
Manajer puncak lebih banyak berhubungan dengan orang-orang yang bekerja di luar organisasi perusahaannya. Manajer puncak secara langsung memipin bawahannya yaitu, para manajer madya.
Karena  itu kepribadian manajer puncak, sistem nilainya, sikap-sikap dan perilakunya mempunyai dampak pada keseluruhan organisasinya.
2.        Manajer Madya
Manajer madya mempunyai hubungan dengan atasan, rekan setingkat, dan bawahan yang memiliki jabatan kepemimpinan.
Manajer madya memiliki peranan ganda. Dapat berperan sebagai bawahan, rekan, atasan, dan wakil perusahaan.
Manajer madya merupakan penghubung yang sangat penting dan yang kreatif antara tingkat-tingkat manajemen rendah dan tinggi.
Kepemimpinan manajer madya, lebih bercorak perorangan. Manajer madya lebih banyak lebih banyak menghadapi manajer bawahannya sendiri dari pada secara kelompok.
3.        Manajer Pertama
Manajer pertama memiliki pola hubungan antartenaga kerja yang sama dengan pola hubungan antartenaga kerja tingkat manajemen madya.
Manajer pertama memiliki peranan ganda sebagai atasan, bawahan, rekan, dan wakil perusahaan.
Manajer pertama juga disebut tenaga kerja yang berada ditengah (the man in the middle, petit 1975) antaravmanajemen dan para pekerja.
Jika pandangan antara kedua pihak berbeda, maka manajer pertama akan merasa terjepit. Kepemimpinannya sangat ditentukan oleh keadaannya ini. Tergantung dari jenis pekerjaannya manajer pertama menghadapi bawahannya secara perorangan atau kelompok
4.        Tenaga Kerja Produktif
Pekerja, tenaga kerja produktif, yang menduduki jabatan terendah dalam organisasi perusahaan, berhubungan dengan rekan dan atasannya saja.
Peran utamanya ialah sebagai bawahan. Ia hanya dapat “melihat” ke samping dan ke atas saja. Tenaga kerja dapat memberikan pengaruh yang nyata pada keberhasilan kepemimpinan atasannya dan kemajuan perusahaan.
3.   Ciri-ciri Pribadi
3.1. Ciri-ciri Seorang Pemimpin yang Berhasil
       Mula-mula terdapat pandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Maksudnya yang dapat menjadi pemimpin hanya orang-orang tertentu saja, yang mempunyai bakat untuk memimpin. Efektivitas kepemimpinan dianggap ditentukan oleh kepribadian pemimpin. Pemimpin mempunyai kualitas yang lebih baik dari para pengikutnya. Ia mempunyai ciri-ciri yang tidak dipunyai pengikutnya.
       Marat (1982) mengutip Carter, yang menemukan ciri-ciri perilaku pemimpin yang berhasil dari penelitian yang dilakukan pada Angkatan Darat Amerika Serikat, sebagai berikut:
1.    Performing professional and technical speciality;
2.    Knowing subordinates and showing consideration for them;
3.    Keeping channels of communication open;
4.    Accepting personal responsibility and setting an example;
5.    Imitating and directing action;
6.    Training men as a team;
7.    Making decisions.

       Di Indonesia dikenal sebelas ciri pribadi yang diharapkan dimiliki oleh seorang pemimpin, yang dianut oleh TNI Angkatan Darat, yaitu:
1.    Takwa, menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa serta menjauhi larangan-larangannya.
2.    Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemuka, orang yang berada di depan dan selalu memberi teladan kepada orang yang dipimpinnya.
3.    Ing Madya Mangun Karsa, dari tengah seorang pemimpin saling bahu-membahu dalam bekerja dengan memberi dorongan, semangat.
4.    Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu memberi dorongan dan arahan kepada apa yang diinginkan anak buahnya.
5.    Waspada Purba Wisesa, selalu berhati-hati dalam segala kondisi, meneliti dan membuat perkiraan keadaan seara terus-menerus.
6.    Ambeg Para Maarta, pandai menentukan mana yang menurut ruang, waktu dan keadaan patut didahulukan.
7.    Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana serta rendah hati dan correct.
8.    Satya, loyalitas timbal-balik dan bersikap hemat, tidak ceroboh serta memelihara kondisi materiil dengan kecermatan.
9.    Gemi Nastiti, hemat dan cermat, sadar dan mampu membatasi penggunaan dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar diperlukan.
10.  Belaka, bersifat dan bersikap terbuka, jujur dan siap menerima segala kritik yang membangun, selalu mawas diri dan selalu siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.
11.  Legawa, rela dan ikhlas untuk pada waktunya mengundurkan diri dari fungsi kepemimpinannya dan diganti dengan suatu generasi baru yang telah mewarisi kesepuluh ciri di atas.

       Ciri-ciri pribadi tersebut lebih berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang harus diusahakan untuk dijalankan, sehingga mempunyai makna sebagai pedoman yang sifatnya normatif.
       Andreas Dananjaya (1985) menemukan adanya perbedaan dalam nilai operatif pada manajer yang berhasil dengan manajer yang kurang berhasil. Para manajer yang berhasil memiliki nilai-nilai operatif yang berhubungan dengan kondisi atau sumber daya yang dibutuhkan oleh suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan dan nilai-nilai yang menunjukkan pandangan jauh ke depan dan sikap yang selalu waspada. Sebaliknya para manajer yang kurang berhasil memiliki nilai-nilai operatif yang berhubungan dengan prestise atau “gengsi” seseorang.
       De Bono (1986) berdasarkan wawancaranya dengan lima puluh pria dan wanita yang sangat berhasil dalam bidangnya masing-masing berkesimpulan bahwa ada empat macam faktor (dua ciri pribadi dan dua lainnya merupakan faktor di luar dirinya) yang menentukan keberhasilan seseorang atau sekelompok orang. Kedua ciri pribadi itu adalah:
1.    A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.
2.    Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang tertentu.
       Kedua faktor lainnya adalah:
3.    Rapid Growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang dengan sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, biasanya ada pada bidang teknologi khususnya komputer merupakan bidang yang berkembang dengan cepat.
4.    Luck. Orang yang beruntung berada di tempat pada saat yang tepat untuk melakukan usahanya.
3.2. Ciri-ciri Pemimpin dari Bidang Manajemen Fungsional.
       Berdasarkan tugas-tugas dan wewenangnya, jabatan-jabatan manajemen dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis kelompok jabatan, sesuai dengan bidang manajemen fungsional. Kelompok jabatan manajemen yang berbeda-beda menuntut kelompok ciri-ciri pribadi yang berbeda-beda pula.
       Huttner, Levy, Rosen dan Stopol (1959) telah meneliti data yang diperoleh dari tes-tes kuantitatif yang diberikan kepada 250 manajer dari dua belas perusahaan besar dan kecil. Mereka antara lain menemukan perbedaan dalam ciri-ciri pribadi antara manajer dari bidang-bidang rekayasa (engineering) dan penelitian & pengembangan, penjualan, administrasi & akuntansi, dan produksi.
       Munandar (1977) membuat studi perbandingan antara manajer bidang produksi dan manajer bidang penjualan pada enam perusahaan di Jakarta. Antara lain ditemukan bahwa para manajer penjualan cenderung lebih ramah, antusias, lihai, tergantung pada kelompok dan saksama dalam penjualan. Para manajer produksi cenderung untuk lebih menjauhkan diri (aloof), serius, terus terang, dapat berdiri sendiri (self sufficient) dan tidak begitu mempedulikan peraturan pergaulan.
       Hasil-hasil penelitian di atas seolah-olah menunjang pandangan bahwa kelompok jabatan manajer yang berbeda-beda memerlukan kelompok ciri-ciri pribadi yang berbeda-beda. Penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak serupa.
3.3. Ciri-ciri Pemimpin pada Tingkat Organisasi yang Berbeda.
       Ghisseli (1971) menemukan sembilan ciri-ciri pribadi, yang ia namakan bakat manajerial (managerial talent), yang memainkan peranan yang penting dalam keberhasilan seorang manajer. Ciri-ciri tersebut, menurut urutan kepentingannya, ialah:
1.    Supervisory ability;
2.    The need for occupational achievement;
3.    The need for self-actualization;
4.    Intelligence;
5.    Self-assurance;
6.    Desiciveness;
7.    The lack of the need for security;
8.    The lack of working class affinity;
9.    Initiative.
       Makin tinggi tingkat jabatan manajer, makin “tinggi” ciri-ciri pribadi tersebut dimiliki oleh para manajer. Para manajer yang berhasil memiliki ciri-ciri tersebut dalam derajat yang lebih tinggi juga daripada para manajer yang kurang berhasil.
       Close (1975) dari penelitiannya pada empat tingkat organisasi di suatu perusahaan produk pertanian menemukan bahwa makin rendah tingkat jabatan manajemen, makin dogmatis pemikiran para manajernya.
3.4. Ciri-ciri Manajer Puncak yang Berhasil.
       Bennis dan Nanus (1985) menemukan dalam penelitian mereka terhadap 90 pemimpin (semuanya adalah manajer puncak = chief executive officers) yang berhasil empat macam keterampilan dalam menangani manusia, yang mereka namakan:
1.    Attention through vision. Pemimpin harus mempunyai visi. Visi atau bayangan masa depan usaha mereka sangat jelas dan menarik perhatian orang. Melalui bayangan ini mereka desak untuk mendapatkan hasil. Bennis dan Nanus mengatakan:
       The visions the various leaders conveyed seemed to bring about a confidence on the part of the employees. A confidence that instilled in them a belief that they were capable of performing the necessary acts.”
2.    Meaning through communication. Bayangan masa depan usaha dari pemimpin harus dapat dikomunikasikan oleh pemimpin kepada bawahannya. Dalam komunikasi mereka ini para pemimpin sangat jelas dan rinci.
3.    Trust through positioning. Jika vision atau bayangan masa depan usaha telah dikomunikasikan, maka vision perlu diimplementasi. Positioning adalah perangkat tindakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan vision dari pemimpin. Untuk mendapatkan kepercayaan dari para pengikutnya pemimpin harus berperilaku konsisten dan tetap berada pada jalur yang telat disepakati.
4.    The deployment of self through positive self-regard and through the Wallenda factor. Faktor utama dari pemimpin yang berhasil ialah peluasan kreatif dari diri, yang dapat dilakukan melalui menghargai diri secara positif. Menurut Bennis dan Nanus menghargai diri secara positif bukan merupakan pemusatan pada diri yang egoistik, melainkan terdiri dari tiga komponen utama: Pengetahuan tentang kekuatan-kekuatannya; kemampuan untuk merawat dan mengembangkan kekuatan-kekuatan tersebut; kemampuan untuk secara tajam melihat perbedaan antara kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi.
       Peluasan diri melalui faktor Wallenda pada hakikatnya berarti bahwa dalam melakukan berbagai macam hal kita harus memusatkan perhatian kita pada apa yang akan dilakukan dan tidak memikirkan tentang kemungkinan akan kegagalan. Karl Wallenda adlaah seorang akrobat yang jalan di atas tali yang dapat meninggal setiap kali ia jalan di atas tali pada ketinggian tertentu. Ia tidak pernah memikirkan tentang kegagalan. Pada tahun 1978 ia terjatuh dan meninggal. Istrinya ingat bahwa hari itu untuk pertama kali Wallenda berpikir tentang kegagalan. Rupanya ia mencurahkan seluruh tenaganya pada usaha untuk tidak jatuh dan bukan untuk jalan di atas tali.
      
       Para manajer puncak berorientasi pragmatis, mereka memimpin organisasi sesuai dengan apa yang mereka pikir paling baik. Kecenderungan umum masa kini ialah memimpin dan memanajemeni berdasarkan pengalaman dan praktek dan tidak berdasarkan konsep-konsep teoretis.
       Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tampaknya:
1.    Ada ciri-ciri pribadi yang secara umum diperlukan oleh setiap jabatan manajemen dengan derajat kualitas yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan manajemennya.
2.    Ada sekelompok ciri pribadi yang menentukan keberhasilan seorang manajer puncak.
3.    Setiap bidang manajemen fungsional (misalnya manajemen bidang keuangan, manajemen bidang produksi, manajemen bidang pemasaran, manajemen bidang sumber daya manusia) memerlukan seperangkat ciri pribadi yang khas, yang sesuai untuk dapat berhasil dalam kepemimpinannya.

       Di samping penelitian tentang ciri-ciri pribadi dan pemimpin/manajer yang berhasil, dimana ciri-ciri pribadi dilihat pengaruhnya dalam satu kombinasi ciri pribadi, dalam interaksi ciri-ciri pribadi dengan organisasi kerjanya, maka penelitian tentang kepemimpinan juga dilakukan dengan fokus pada perilaku pemimpin yang efektif.
              Efektivitas kepemimpinan bukannya hanya ditentukan oleh pemimpin, melainkan ditentukan pula oleh bawahannya, atasannya, jenis pekerjaannya, teknologi yang digunakan, lingkungan fisiknya (Reddin, 1970).
     
4.     Perilaku Pemimpin yang Efektif – Gaya Manajemen

Melalui penelitian ditemukan adanya beberapa kelompok perilaku pemimpin yang dalam kombinasinya mengarah ke kepemimpinan  yang berhasil. Dalam kombinasi yang lain kelompok perilaku pemimpin justru mengarah ke kepemimpinan yang kurang efektif. Ditemukanlah berbagai gaya kepemimpinan atau gaya manajemen, dimana diduga semula bahwa ada satu gaya manajemen yang paling efektif. Terbukti bahwa tidak ada satu pun gaya manajemen yang efektif untuk setiap situasi kepemimpinan/manajemen. Setiap situasi menuntut adanya gaya kepemimpinan tertentu.

4.1. Kajian Ohio State University

Pada tahun 1956 sekelompok peneliti, antara lain Stogdill, Fleishman, dan lain-lain dari Ohio State University mengembangkan Kuesioner Uraian Perilaku Pemimpin (Leader Behavior Description Questionaire – LBDQ) yang merupakan alat untuk menguraikan bagaimana seorang pemimpin melakukan kegiatan-kegiatannya. Dalam berbagai penelitian mereka selalu menemukan dua dimensi utama dari perilaku pemimpin yang kemudian dikenal sebagai Penenggangan (Consideration) dan Memprakarsai Struktur (Initiating Structure).
Penenggangan menggambarkan derajat dan corak hubungan seorang pemimpin dengan bawahannya, yang ditandai oleh saling percaya. Penghargaan terhadap gagasan bawahan dan Peneggangan terhadap perasaan bawahan. Pemimpin semacam ini sangat memperhatikan kesenangan, kesejahteraan, status, dan kepuasan anak buahnya.
Memprakarsai Struktur menggambarkan sejauh mana seorang pemimpin memberi batasan dan struktur kepada perannya dan peran bawahannya untuk mencapai tujuan kelompoknya.
Dengan dua dimensi Peneggangan dan Memprakarsai Struktur dapat diperoleh empat macam gaya kepemimpinan, yaitu: (1) Penenggangan rendah, Memprakarsai Struktur rendah, (2) Penenggangan tinggi, Memprakarsai Struktur rendah, (3) Penenggangan tinggi, (4) Penenggangan rendah, Memprakarsai Struktur tinggi.
Stogdill (1976) setelah mem[pelajari penelitian-penelitian tentang keempat gaya kepemimpinan tersebut akhirnya menyimpulkan bahwa Research in a variety of situations indicates that leaders are rated more effective when they score high in both Consideration and Initiating Structure. Ia selanjutnya juga meneukan bahwa :
a.     Produktivitas kelompok sedikit lebih tinggi jika dihubungkan dengan Struktur       daripada jika dihubungkan dengan Penenggangan.
b.    Kepuasan anggota sedikit lebih tinggi jika dihubungkan dengan Penenggangan      daripada jika dihubungkan dengan Struktur
c.     Kelekatan kelompok (group cohesiveness) memiliki hubungan yang kira-kira sama             seringnya dengan Peneggangan dan struktur

4.2. Garida Manajerial
Blake dan Mouton (1964) dalam mengembangkan garida manajerial (managerial grid) menggunakan dua dimensi yaitu garis tegak dan grais mendatar. Garis tegak yang dibagi kedalam bagian yang sama besar adalah dimensi Perhatian terhadap Manusia (PM), garis mendatar, yang juga dibagi kedalam Sembilan bagian yang sama, adalah dimensi Perhatian terhadap Produksi (PP). Garida manajerial terdiridari 81 sel, dan setiap sel mencerminkan perilaku pemimpin berdasarkan kedua dimensi tersebut. Namun demikian, mereka hanya membedakan lima gaya manajemen, yang masing-masing merupakan kombinasi dari dua angka sesuai dengan tempat dari sel tersebut, yaitu :
1,1  :  Penggunaaan upaya yang minimum untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang dituntut telah cukup untuk mempertahankan keanggotaan organisasi (PP dan PM rendah)
9,1  : Efisiensi dalam organisasi dihasilkan dari pengaturan kondisi kerja sedemikian rupa
sehingga unsur manusia hanya sedikit sekali berpengaruh (PP tinggi, PM rendah)
9,9  : Pencapaian kerja yang berhasil diperoleh dari orang yang terikat (commited); saling
ketergantungan melalui suatu kepentingan bersama dalam tujuan organisasi mengarah pada hubungan-hubungan  dari kepercayaan dan hormat.
1,9  : Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kebutuhan orang untuk hubungan yang
   memuaskan mengarah kepada satu suasana organisasi dan tempo kerja yang ramah dan menyenangkan.
5,5  : Prestasi kerja organisasi yang serasi mungkin melalui penyeimbangan dari keperluan
untuk kerja dengan semangat kerja dari orang pada tingkat yang memuaskan
Garida manajerial telah sangat banyak digunakan dalam program-program pengembangan manajemen. Popularitas dari teori ini terletak antara lain pada kemudahan untuk menangkap gagasan dasar dan ancangan positif untuk mengelola sebagaimana terungkap melalui gaya 9,9
4.3. Teori “Contingency”
Model contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967). Menurut model ini tinggi-rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh system motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk menilai system motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam bentuk sekala semantic differensial. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh pemimpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Preffered Coworker = LPC). Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship oriented), suatu konsep yang mempunyai persamaan dengan konsep Penenggangan (Consideration). Sebaliknya skor LPCD yang rendah lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented), yang mirip pengertiannya dengan Memprakarsai Struktur (Initiating Structure).
Situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi, yaitu:
1)    Hubungan pemimpinanggota (leader-member relations): hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya.
2)    Struktur Tugas (task structure): Derajat struktur dari tugas yang diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.
3)    Kekuasaan kedudukan (position power): kekuasaan dan kewenangan yang terberikan dalam kedudukannya.

Berdasarkan ketiga variable ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungan bagi pemimpin. Situasi dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak mengutungkan ialah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.
Dalam meneliti kembali kajian-kajian kepemimpinan yang lampau dan menganalisis kajian-kajian yang baru Fiedler menemukan bahwa:
1.    Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin
2.    Pemimpin dengan skor LPC yang tinggi (pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sedang derajat keuntungannya
Kedua kesimpulan di atas ini berlaku terutama untuk kelompok-kelompok interaksi. Fiedler membedakan antara kelompok-kelompok interkasi, koaksi dan konteraksi (interacting, coacting groups).
Dalam kelompok interaksi dituntut koordinasi yang ketat dari para anggota kelompok dalam melaksanakan tugas-tugas utama mereka. Para anggota kelompok saling tergantung dalam arti bahwa sulit untuk menentukan koordinasi seseorang dalam mencapai tujuan kelompok.
Kelompok koaksi juga bekerja sama pada satu tugas bersama. Namun setiap anggota kelompok berdiri dan prestasi kerjanya tergantung pada kecakapan, keterampilan dan motivasinya sendiri.
Kelompok konteraksi terdiri dari orang-orang  yang bekerja sama untuk tujuan perundingan dan perujukan dari tujuan dan pandangan yang saling bertentangan.
Sebagainya telah disinggung pada subbab pola hubungan antartenaga kerja dalam perusahaan, pada manajer pertama lebih banyak berhubungan dengan kelompok interaksi daripada kelompok koaksi dan tidak membawahi kelompok konteraksi. Para manajer madya dan puncak lebih banyak berhubungan dengan kelompok koaksi dan konteraksi sebagai bawahan.
Kesimpulan Fiedler di atas lebih berlaku untuk kepemimpinan pada tingkat manajemen pertama.

4.4 Teori Tiga Dimensi
Reddin (1970) mengembangkan teori tiga dimensinya dengan menambahkan dimensi ketiga pada dimensi dari Orientasi-Tugas (OT) dan dimensi Orientasi-Hubungan (OH). Dimensi ketiga merupakan dimensi efektivitas. Dengan menggunakan OH sebagai sumbu tegak dan OT sebagai sumbu mendatar ia meneukenali empat gaya dasar dari perilaku manajerial, yaitu:
1.  Separated : Perilaku OT dan OH digunakan sedikit sekali.
2.  Related : Perilaku OH yang terutama digunakan.
3.  Integrated : Perilaku OH dan OT banyak digunakan.
4.  Dedicated : Perilaku OT yang terutama digunakan.
Tidak ada gaya manajerial yang ideal. Setiap gaya manajerial sesuai untuk satu situasi tertentu dan tidak sesuai untuk banyak situasi lainnya. Seorang manajer harus mencocokan gaya dasarnya dengan kebutuhan atau tuntutan dari situasi. Gaya dasar related misalnya, jika digunakan dalam situasi yang sesuai dinamakan gaya developer. Sedangkan jika gaya dasar tersebut digunakan dalam situasi yang tidak sesuai, maka gayanya diberi nama gaya missionary.
Di samping kedelapan gaya manajerial Reddin mengajukan konsep-konsep:
Style flexibility vs. Style drift
Style resilience vs. Style rigidity
Manajer yang berhasil mengubah-ubah gaya manajerial sesuai dengan tuntutan situasi yang berubah dikatakan mempunyai style flexibility. Sebaliknya, jika penggantian gaya tidak sesuai dengan situasi yang berubah, maka dikatakan bahwa manajer mempunyai style drift.
Dalam situasi dimana rentang perilaku yang sempit adalah yang sesuai, maka manajer yang mempertahankan gaya dasarnya, yang mempunyai fleksibilitas rendah, dikatakan mempunyai style resilience. Sebaliknya jika situasi menuntut satu rentang perilaku yang luas, maka manajer yang mempertahankan satu gaya dasar dikatakan mempunyai style rigidity.
Dapat disimpulkan bahwa menurut teori tiga dimensi, seorang manajer harus dapat menggunakan gaya manajerial sesuai dengan tuntutan situasi sesaat, mengubah gaya jika memang diperlukan dan mempertahankan gaya jika situasi tidak menuntut perubahan.

4.5 Teori Kepemimpinan Situasional
Teori kepemimpinan situasional, yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982), yang merupakan pengolahan dari model efektivitas pemimpin yang tiga dimensi, didasarkan atas hubungan kurvalinear antara perilaku tugas dan perilaku hubungan dan kedewasaan. Teori ini berusaha untuk memberikan pemahaman kepada pemimpin tentang kaitan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya.
Tingkat kedewasaan (maturity level) dari para bawahan menentukan gaya efektif dari pemimpin, seperti pada gambar dibawah ini.
Dimulai dengan perilaku tugas yang berstruktur, yang sesuai dalam bekerja dengan bawahan yang belum dewasa, teori ini menyarankan bahwa perilaku pemimpin harus bergerak melalui (1) tugas tinggi-hubungan rendah (dinamakan gaya telling) ke (2) tugas tinggi-hubungan tinggi (haya selling) ke (3) tugas rendah-hubungan tinggi (gaya participating) dan ke (4) tugas rendah-hubungan rendah (gaya delegating), jika kita mengikuti perkembangan bawahan dari tidak dewasa sampai ke dewasa.
Kedewasaan (maturity) dalam teori kepemimpinan situasional ini diartikan sebagai “...the ability and willingness of people to take responsibility for directing their own behavior”. Variabel-variabel dari kedewasaan ini harus diperhitungkan hanya dalam kaitannya dengan satu tugas tertentu yang harus dilaksanakan. Artinya seseorang atau satu kelompok tidak dewasa atau dewasa secara keseluruhan. Setiap orang cenderung lebih dewasa untuk tugas tertentu dan kurang dewasa untuk tugas lain.



4.6 Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan
Teori ini dikembangkan oleh Vroom dan Yetton (1973) dan disebut pula sebagai model normatif tentang kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil.
Model mereka dinamakan normatif, karena mengarah ke pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Pada hakikatnya, model ini dapat digunakan sebagai alat untuk:
a.  Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara      berkelompok (group problem-solving situations)
b.  Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap     situasi. Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu:
1.  Klasifikasi Gaya Kepemimpinan
     Parameter yang pertama meliputi suatu klasifikasi dari gaya kepemimpinan. Mulai dari gaya kepemimpinan yang sepenuhnya otokratik sampai demokratik.
2.  Kriteria Efektivitas Keputusan
Parameter yang kedua dari model meliputi kriteria yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan efektivitas dari keputusan-keputusan yang diajukan dalam setiap situasi. Kriteria ini mencakup mutu dari keputusan, penerimaan keputusan oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk melaksanakan keputusan dan jumlah waktu yang diperlukan untuk sampai pada pemecahannya.
3.  Kriteria Penemukenalan Jenis Situasi Pemecahan Persoalan
Parameter ketiga  yang penting meliputi suatu perangkat dari kriteria dasar yang mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan. Kriteria disajikan dengan menggunakan perangkat pertanyaan, kemudian mereka memberikan rekomendasi tentang gaya-gaya kepemimpinan mana yang sesuai/layak untuk digunakan.

5.  Corak interaksi pemimpin dengan bawahannya
Hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya merupakan hubungan saling ketergantungan yang tidak seimbang. Bawahan pada umumnya tergantung pada pimpinan daripada sebaliknya. Dalam proses berinteraksi , pemimpin akan mempengaruhi bawahannya agar berperilaku sesuai dengan harapannya. Corak interaksi ini lah yang menentukan keberhasilan pemimpin dalam kepemimpinannya. Teori ini sesuai dengan teori kepemimpinan transaksional dan transformasional yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1994).
Pada pendekatan perilaku pemimpinan yang efektif, seperti pada teori contingency dari Fiedler, gaya kepemimpinan disesuaikan dengan kondisi bawahannya. Pemimpin mendiagnosi dahulu kondisi bawahannya kemudian ia menggunakan gaya kepemimpinan yang dianggap sesuai dengan kondisi bawahannya. Pada kepemimpinan transaksional dan transformasional pemimpin berupaya merubah bawahannya agar mau bekerja lebih keras mencapai prestasi lebih tinggi dan bermutu.

5.1 Kepemimpinan transaksional
Dalam bentuk seperti ini pemimpin berinteraksi dengan bawahannya dengan proses berinteraksi Bass dan Avolio(1994) membahas empat macam interaksi seperti:
1.    Contingent reward
Ialah, Jika bawahannya melakukan pekerjaan perusahaan yang menguntungkan perusahaan maka kepada mereka dijanjikan imbalan yang setimpal.
2.    Management By Exception-Active
Manajer secara aktif dan ketat memantau pelaksanaan pekerjaan bawahannya agar mereka tidak melakukan kesalahan – kesalahan atau kegagalan dalam melaksanakan perkerjaannya atau agar kesalahan dan kegagalannya dapat segera diketahui dan segera dapat diperbaiki.
3.   Management By Exception- Passive
Transaksinya ialah:” silahkan melaksanakan tugas pekerjaan anda jika timbul masalah, atau jika anda bertindak salah, usahakan mengatasi masalah, atau memperbaiki kesalahan anda sendiri. Saya baru akan membantu anda, jika saya lihat anda tidak mampu mengatasi masalah atau memperbaikinya”.
4.   Laisser- Faire
Manajer membiarkan bawahannya melakukan tugas pekerjaannya tanpa ada pengawasan dari dirinya. Mutu unjuk kerjanya seluruhnya tanggung jawab bawahannya.

Dari keempat ciri kepemimpinan transaksional diatas dapat disimpulkan adanya derajat kepercayaan dari atasan terhadap bawahannya yang berbeda- beda. Efektif tidaknya kepemimpinan atasan tergantung pada derajat ketepatan pengenalan bawahan oleh atasan.

5.2  Kepemimpinan Transformasional
Dalam interaksi ini pemimpin mengubah bawahannya, sehingga tujuan kelompok kerjanya dapat dicapai bersama. Lima aspek kepemimpinan transformasional ialah:
1.    Attibuted Charisma
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri. Ia sebagai pemimpin bersedia memberikan pengorbanan untuk kepentingan perusahaan sehingga bawahan merasa tenang berada dekat dengan pemimpinnya dan pemimpin pun dapat tenang menghadapi situasi yang kritikal, dan yakin dapat berhasil mengatasinya.
2.    Inspirational Leadership/ Motivation
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan menentukan standar- standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai. Bawahan merasa mampu melakukan tugas pekerjaannya, mampu memberikan berbagai macam gagasan dan merasa diberi inspirasi oleh pemimpinnya.
3.    Intellectual Stimulation
Bawahan merasa bahwa pimpinan mendorong mereka untuk memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk mencari cara- cara baru. Dalam melaksanakan tugas, merasa mendapatkan cara baru dalam mempersepsi tugas- tugas mereka.
4.    Individualized Consideration
Pemimpin memperlakukan setiap bawahannya dengan baik sehingga menimbulkan rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melalukan pekerjaannya, dapat memberi sumbangan yang berarti untuk tercapainya tujuan kelompok.
5.    Idealized Influence
Pemimpin berusaha melalui pembicaraan mempengaruhi bawahannya dengan menekan pentingnya nilai-nilai dan keyakinan , tekad mencapai tujuan agar bawahannya dapat menyelesaikan pekerjaannya penuh dengan keyakinan dan tekad yang kuat.





Daftar Pustaka
Munandar. (1998). Psikologi industri dan organisasi. Salemba: UI PRESS