1. PENDEKATAN PIAGET: ANAK OPERASIONAL
KONKRET
Menurut Piaget, anak pada usia 7 tahun memasuki
suatu tahap yang disebut tahapan “Operasional Konkret”, yaitu
tahapan ketiga pada perkembangan kognitif Piaget (kira- kira usia 7 – 12 tahun)
dimana anak pada usia ini sudah menggunakan logika mereka seperti penalaran
dalam menyelesaikan masalah yang memicu logikanya untuk berpikir. Anak
pada usia ini mulai berpikir logika karena rasa keegoisan mereka mulai
berkurang dari sebelumnya dan dapat menangkap/memahami beberapa hal dalam satu
situasi. Namun pikiran anak pada usia ini masih terbatas pada hal-hal yang
mencakup situasi yang nyata.
1.1 Kemajuan Kognitif
Pada tahap “Operational
Konkret”, anak memiliki pemahaman yang lebih baik daripada anak
pada tahapan “pre operational” dalam
hal konsep ruang, hubungan sebab akibat, pengklasifikasian, inductive
(pemikiran logis), deductive (pemikiran yang dapat menghubungkan hal yang satu dengan yang
lain), menyimpan memori dan angka.
1.1.1 Hubungan antar ruang dan Sebab Akibat
Pemahaman yang lebih baik akan hubungan antar ruang
ini menjadikan anak pada tahap “concrete operation” memiliki ide/pendapat yang lebih jelas tentang seberapa jauh
jarak dari satu tempat ke tempat lain dan seberapa waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai tempat tersebut, dan anak dapat dengan mudah
mengingat rute dan tanda-tanda sepanjang jalan mencapai tempat
tersebut. Pengalaman sangat berperan dalam proses perkembangan ini: seorang
anak yang ke sekolah pergi dengan berjalan kaki lebih mengenal lingkungan
sekitar di luar rumah, ketika hendak pergi ke sekolah.
Kedua kemampuan dalam menggunakan peta dan model
dan kemampuan untuk mengkomunikasikan ruang/tempat akan bertambah baik seiring
bertambahnya usia, pendapat/ide dalam hal “hubungan sebab akibat” juga
semakin baik.
Pada usia 5 – 12 tahun, jika ditanyakan tentang hal
tuas dan ukuran keseimbangan, akan menghasilkan jawaban yang sangat
bervariasi dimana anak yang lebih tua akan memberikan jawaban yang lebih
benar. Anak-anak juga memahami pengaruh atribut fisik dahulu kemudian pengaruh
faktor spasial.
1.1.2 Pengkategorian
Kemampuan
untuk mengkategorikan membantu anak untuk berpikir dengan logika. Pengkategorian
termasuk ahli dalam “seriation”, ”transitive inference”, ”class
inclusion” (pencantuman
kelas).
1. Seriation (mengurutkan)
adalah kemampuan untuk menyusun sesuatu secara berurutan sesuai dengan
ukuran yang satu dengan yang lainnya seperti berat (dari ukuran paling
ringan hingga ukuran paling berat) atau warna (dari ukuran
paling cerah hingga ukuran paling gelap). Pada usia 7 atau 8
tahun, anak dapat mengetahui hubungan dari sekelompok
tongkat dengan penglihatan dan menyusun berurutan sesuai ukurannya.
2. Transitive inference adalah
kemampuan untuk mengambil kesimpulan pada hubungan antara dua benda yang berhubungan juga memiliki
hubungan dengan benda ketiga.
Contohnya menentukan lima tongkat mana yang lebih tinggi ataupun lebih
pendek.
3. Class
inclusion (pencantuman kelas) adalah kemampuan untuk melihat
suatu hubungan terhadap keseluruhan pada bagiannya sendiri. Pemahaman akan
“class inclusion” ini sangat erat kaitannya dengan penalaran deductive dan inductive.
1.1.3 Penalaran Inductive dan Deductive
Menurut Piaget, anak pada tahapan “Operasional Konkret” hanya
menggunakan penalaran induktif. Anak terlebih dahulu melihat jenis dari
sebuah objek, dan kemudian bisa menentukan kesimpulan umum tentang jenis
tersebut terhadap keseluruhan. Contoh: Kerbau milik Randy memakan rumput, tentu
kerbau milik Chandra pun pasti memakan rumput. Semua kerbau memakan
rumput. Kesimpulan induktif ini hanya bersifat sementara, karena
kemungkinan besar akan banyak informasi-informasi baru yang diterima yang
berbeda dengan pernyataan sebelumnya. Penalaran deduktif adalah penalaran
logis akan pernyataan umum (class) yang dikaitkan dengan pernyataan
khusus (anggota dari class tersebut). Menurut Piaget, penalaran
deduktif sudah ada sebelun remaja.
1.1.4 Konservasi
Anak (pada tahap “Operational Konkret”)
memiliki kemampuan untuk menyelesaikan berbagai macam masalah konservasi
tanpa harus menghitung atau mengukur objek yang ditanyakan secara
langsung. Namun anak belum bisa menyelesaikan masalah konservasi jika
permasalahannya dikaitkan tentang benda yang sama diubah bentuknya, apakah
beratnya berbeda. Anak biasanya akan menjawab tidak. Karena mereka
melihat bentuk yang berbeda itu mengakibatkan benda yang berbeda pula termasuk
beratnya juga. Istilah Piaget untuk menyadari bahwa 2 objek yang sama
sesuai dengan pengukuran tertentu tetap sama jika bentuknya dirubah, tidak
ada bagian yang dikurangi atau ditambahi disebut “horizontal decalage”. Horizontal
decalage adalah ketidak-mampuan untuk mengirim pembelajaran dari 1
tipe konservasi ke tipe lain, yang menyebabkan anak menguasai tipe
berbeda dari tugas konservasi pada usia yang berbeda.
1.1.5 Angka dan Matematika
Pada usia 6 atau 7 tahun, anak biasanya sudah
bisa menghitung. Anak sudah bisa mengitung soal matematika
sederhana, contoh 4 + 2, anak akan mulai menghitung dengan menambahkan 2
angka lagi setelah angka yang ditanyakan untuk dijumlahkan. Maka anak
akan menghitung 4, 5, dan 6. Namun pada usia 9 tahun, anak
sudah bisa menyelesaikan soal matematika sederhana dengan menghitung dari
angka terkecil ke angka terbesar atau sebaliknya. Penelitian yang
dilakukan pada anak yang tidak sekolah, untuk mengetahui kemampuan mereka
berhitung menyatakan bahwa kemampuan mereka untuk berhitung berkembang dengan
cara mereka sendiri yang umum pada mereka dan sering sekali kemampuan itu ada
tanpa perlu belajar. Biasanya kemampuan tanpa belajar ini dipengaruhi oleh
konteks budaya. Beberapa pemahaman intuitif terhadap jumlah sudah ada pada
usia 4 tahun. Anak belum paham terhadap jumlah, lebih fokus pada
angka yang muncul. Contoh : Anak akan menyatakan bahwa ¼ lebih besar
dari ½, karena angka 4 lebih besar dari angka 2.
1.2 Pengaruh Perkembangan Saraf
terhadap Kemampuan
Pemikiran yang tidak logis ada pada anak yang lebih
muda mudah disesuaikan, pada anak yang lebih tua logika berpikir
tergantung pada perkembangan saraf dan pengalaman. Anak yang telah
mencapai tahap konservasi memiliki susunan gelombang otak yang berbeda
dengan anak yang belum mencapai tahap konservasi tersebut, biasanya
karena mungkin si anak belum menggunakan bagian/area otak yang berbeda untuk
mengerjakan tugas yang berhubungan dengan pemikiran logika
tersebut. Robbie Case menyatakan bahwa konsep dari seorang anak
menjadi lebih otomatis, pemikiran sudah lebih muda untuk menerima
informasi-informasi baru.
1.3 Penalaran Moral
Piaget dan Inheder menyatakan bahwa penalaran moral
melalui 3 tahapan. Anak melewati ketiga tahapan ini dalam usia yang
bervariasi. Ketiga tahapan itu adalah:
1. Sikap yang
patuh didasari otoritas. Tahap ini biasanya dialami anak yang berusia 2-7 tahun.
2. Sikap yang menunjukkan peningkatan fleksibilitas
dan beberapa tingkatan kebebasan disertai
rasa hormat dan kerja sama.
3. Sikap dari anak yang sudah mulai bisa mengikuti aturan.
2. PENDEKATAN PEMROSESAN INFORMASI: INGATAN DAN KETERAMPILAN LAINNYA
Pemrosesan yang makin cepat, makin efisien
meningkatkan jumlah informasi yang bisa disimpan anak di dalam ingatan kerja,
memungkinkannya untuk bisa mengingat kembali dengan lebih baik dan berfikir pada
tingkat yang lebih rumit. Anak-anak usia sekolah juga lebih memahami mengenai
bagaimana ingatan berfungsi dan menggunakan berbagai strategi atau teknik yang
disengaja, untuk membantu mereka mengingat. Karena mereka memiliki sifat
keingintahuan yang lebih tinggi, mereka jadi lebih sadar akan informasi yang
harus diperhatikan dan diingat.
2.1 Metamemori:
Memahami Ingatan
Pada usia antara 5 dan 7 tahun, lobus frontal pada
otak mengalami perkembangan dan pengorganisasian ulang yang signifikan.
Perubahan ini memungkinkan peningkatan dalam mengingat kembali. Dimana metamemori adalah pengetahuan
mengenai proses ingatan. Dan metakognisi adalah kesadaran
seseorang akan proses berfikirnya sendiri. Anak-anak pada taman kanak-kanak dan
kelas 5 tahu bahwa mengingat lebih baik jika mereka belajar lebih lama
dan bahwa orang-orang yang melupakan banyak hal seiring dengan waktu dan
bahwa pembelajaran kembali merupakan sesuatu yang lebih mudah dibandingkan
pembelajaran yang pertama kali. Pada saat anak kelas 3 itu sudah tahu beberapa
orang mengingat lebih baik dari yang lain dan beberapa hal mudah diingat dari
yang lain.
2.2 Mnemonic
: Berbagai Strategi untuk Mengingat
Strategi mnemonic adalah teknik untuk membantu
ingatan. Strategi ini umumnya terjadi diantara anak-anak dan orang dewasa
seperti penggunaan alat-alat bantu
ingatan eksternal. Alat-alat
bantu eksternal adalah strategi mnemonic dengan menggunakan sesuatu diluar
diri seseorang. Sebagai contoh mencatat nomor telefon, membuat daftar,
menyetel alat pengatur waktu, dan menaruh buku perpustakaan didepan pintu.
Misalnya mengucapkan nomor telepon secara berulang-ulang setelah melihatnya
adalah proses pengulangan. Proses pengulangan adalah strategi
mnemonic untuk mempertahankan suatu item didalam memori kerja melalui pengulangan
yang disadari. Organisasi adalah
menempatkan informasi secara mental kedalam berbagai kelompok untuk memudahkan
mengingat kembali. misalnya: hewan, perabot, kendaraan dan
pakaian. Elaborasi adalah strategi mnemonic untuk membuat
kaitan mental yang melibatkan item-item yang akan diingat. Dalam elaborasi,
anak-anak mengaitkan berbagai item dengan sesuatu yang lain, misalnya dikaitkan
dengan suau kisah atau khayalan. Semakin bertambahnya usia, anak-anak dapat
mengembangkan strategi yang lebih baik dan efektif lalu menyesuaikannya. Ketika
diajarkan menggunakan suatu strategi, anak-anak yang lebih tua lebih cenderung
menerapkannya pada situasi yang lain. Anak-anak sering kali menggunakan lebih
dari satu strategi untuk suatu tugas dan memilih bentuk strategi yang berbeda
untuk masalah yang berbeda.
2.3 Perhatian Selektif
Anak-anak usia sekolah dapat berkonsentrasi lebih lama
dari anak-anak yang lebih mudah dari mereka dapat memusatkan pada informasi
yang mereka perlukan dan inginkan selagi menyaring informasi yang tidak
relevan.
Kapasitas untuk perhatian yang selektif yang tumbuh
karena kematangan meurologis dan merupakan salah satu alasan ingatan yang
meningkat selama masa kanak-kanak tengah. Anak-anak yang lebih tua bisa
mengingat kembali daripada anak-anak yang lebih muda karena mereka lebih mampu
dalam memilih apa yang mereka ingat dan apa yang ingin mereka lupakan.
3. PENDEKATAN PSIKOMETRIK: PENGUKURAN KECERDASAN
Pengukuran kecerdasan ini dapat dilakukan pada
individu atau, kelompok. Beberapa contoh
tes untuk mengukur kecerdasan adalah “the otis –Lennon
School Ability Test”, ”Weschler Intelligence Scale for
Children”, dan lain-lain. Untuk mengetahui hasil tes dalam
pengukuran kecerdasan, hasil dari tes yang dilakukan dibandingkan
dengan hasil yang terstandarisasi (standar yang diperoleh dari skor sampel
anak sebagai perwakilan dari seluruh anak pada usia tersebut).
3.1 Kontroversi
IQ
Pengukuran kecerdasan menimbulkan
kontroversi. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Bagi mereka yang
setuju dikarenakan tes IQ sudah distandarisasi dan penggunaanya
sudah meluas, sehingga menghasilkan informasi yang cukup bia dipercaya dan
hasilnya cukup valid. Bagi yang tidak setuju mereka beralasan bahwa tes IQ
itu belum tentu valid, tes IQ juga dianggap meremehkan kecerdasan
anak yang karena satu dan lain hal tidak mengerjakan tes tersebut dengan benar.
Pengaruh Bersekolah
Sekolah juga mempengaruhi IQ. Didikan yang
diberikan berupa pelajaran juga bisa meningkatkan IQ. Karena
itu, pada saat libur sekolah, bisa saja IQ turun karena diliburkannya
masa aktif sekolah.
Pengaruh etnis dan kultur. Di berbagai etnis dan
kultur, IQ juga berbeda. Banyak pakar yang menyatakan perbedaan
tersebut dikarenakan ketidaksamaan kualitas lingkungan, masalah pemasukan nutrisi,
kondisi kehidupan, stimulasi intelektual, sekolah, efek tekanan yang
dapat memengaruhi harga diri.
Beberapa kritik menyatakan perbedaan etnis dalam
IQ karena kecenderungan untuk memasukkan pertanyaan yang menggunakan kosa kata
atau informasi yang sudah biasa atau diketahui oleh etnis tertentu. Robert
Stenberg menyatakan bahwa kecerdasan dan kultur saling
berhubungan.
3.2 Apakah Terdapat Lebih
dari Satu Kecerdasan?
Tes IQ cenderung menilai aspek kecerdasan
semuanya yang berfokus hanya untuk yang berguna di bersekolah, tidak
menilai aspek kecerdasan lain seperti akal sehat, keterampilan sosial, wawasan
kreatif, dan pengetahuan akan diri.
3.2.1 Teori Multi Kecerdasan Gardner
Teori ini menyatakan tiap orang memiliki bentuk
kecerdasan yang berbeda. Kecerdasan yang tinggi di satu area tidak harus
disertai dengan kecerdasan tinggi di area lainnya. Seorang mungkin
sangat berbakat dalam seni (kemampuan spasial), ketepatan
gerak (kinestis), hubungan sosial (interpersonal), belum
tentu memiliki IQ yang tinggi.
3.2.2 Teori Kecerdasan Triarkis Stenberg
Menurut Stenberg, kecerdasan adalah
sekelompok kemampuan mental yang diperlukan oleh anak atau orang dewasa untuk
menyesuaikan diri dengan konteks lingkungan, dan juga untuk memilih
dan membentuk konteks di tempat mereka tinggal dan beraksi. Teori
kecerdasan triarkis Gardner mencakup tiga elemen, yaitu:
1. Componential, adalah
aspek kecerdasan analitis;
2. Experiental, adalah insightful atau
kreatif; dan
3. Contextual, adalah
kecerdasan yang bersifat praktis.
3.3 Petunjuk
Baru dalam Pengujian Kecerdasan
Beberapa alat diagnostik dan
prediktif baru didasarkan pada penelitian neurologis dan teori pemrosesan
informasi. Kaufman Assessment Battery for Children (K-ABC-II)
pada edisi keduanya memiliki tes individual bagi anak usia 3–18 tahun. Tes
tersebut dirancang untuk mengetahui berbagai kemampuan kognitif pada anak
dengan kebutuhan yang beragam (autisme dan gangguan pendengaran dan bahasa)
serta dari latar belakang budaya dan bahasa yang bervariasi. Tes ini terdiri dari subtes-subtes yang dirancang
untuk meminimalkan instruksi dan jawaban verbal dan berbagai item dengan
kandungan budaya yang terbatas. Kaufman Assessment Battery for Children
(K-ABC-II) itu sendiri merupakan suatu tes kecerdasan individual yang
tradisional, dirancang untuk memberikan pengukuran yang adil pada anak-anak
minoritas dan anak-anak dengan cacat tubuh.
Berdasarkan teori Vygotsky, tes
dinamis menekankan prestasi potensial daripada prestasi yang dicapai saat ini.
Tes ini berupaya menangkap arti kecerdasan yang dinamis dengan megukur berbagai
proses belajar secara langsung. Tes dinamis berisi item-item sampai
dua tahun di atas tingkat kompetensi yang ada pada anak saat ini. Saat
pengujian, sebagian tes akan dikerjakan oleh anak tanpa bantuan penguji dan
sebagian lagi dengan bantuan penguji. Kedua hasil yang didapat akan berbeda
(antara dengan dan tanpa bantuan) dan perbedaan ini disebut zone of
proximal development (ZPD) anak.
Dengan menunjuk pada apa yang
siap dipelajari anak, pengetes dinamis dapat memberikan informasi yang lebih
berguna kepada guru daripada tes psikometrik dan juga dapat membantu dalam
merancang intervensi untuk membantu kemajuan anak. Tes
ini dapat sangat efektif bagi anak yang kurang beruntung (dengan gangguan
tertentu). Namun, ZPD dilakukan dengan cukup
intensif dan mungkin sulit mengukur dengan tepat.
4. BAHASA DAN LITERASI
4.1 Bahasa
Bahasa adalah sebuah sistem komunikasi yang terdiri
atas kata-kata dan simbol-simbol yang digabungkan dalam
suatu aturan dan digunakan untuk menghasilkan pesan dalam jumlah tak
terbatas. Bahasa menyediakan berbagai macam keperluan untuk anak
anak yang sedang berkembang; yang membantu dia berinteraksi dengan orang lain.
Bahasa memberikan berbagai macam keperluan untuk periode anak yang sedang
berkembang, yang membantu anak dalam berinteraksi dengan orang lain,
mengkomunikasikan informasi, mengekspresikan perasaannya, keinginan, dan
pandangan. Anak-anak dapat menggunakan bahasa untuk
mempengaruhi perilaku orang lain, untuk mengeksplorasi
dan belajar tentang lingkungan mereka, dan untuk diri dari kenyataan dengan
menggunakan imajinasi mereka. Bahasa membantu anak untuk mengatur
persepsi dan pemikiran, mengendalikan tindakan mereka, dan
bahkan untuk memodifikasi emosi mereka.
Salah satu bagian terpenting dalam proses belajar pada
perkembangan anak adalah pengembangan komunikasi komunikatif dimana anak-anak
mengalami kemampuan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, dan niat dalam cara
yang berarti dan budaya berpola. Komunikasi didefinisikan kedalam dua proses
yaitu kita mengirim dan menerima pesan kepada orang lain.
4.1.1 Komponen-komponen dalam Bahasa
1. Fonologi (Phonology)
Fonologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bunyi
atau fonem, termasuk aturan-aturan yang digunakan untuk membentuk kata. Fonem
adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip kedengarannya dan disebut sebagai
dasar dalam bahasa karena dapat mempengaruhi makna, dan mengubah arti dari
sebuah kata. Misalnya “pola” dengan “bola”.
2. Semantik
(Semantics)
Semantik merupakan ilmu yang mempelajari tentang makna
dan kombinasi kata seperti pada frasa,klausa, dan kalimat. Pemahaman bahasa
memerlukan bukan hanya pengetahuan, dan arti dari kata-kata tertentu, tetapi
juga pemahaman tentang bagaimana kita menggunakan kata-kata dan bagaimana kita
menggabungkan mereka dalam frasa dan kalimat. Dengan demikian sebagai manusia
yang terus mengalami perubahan, maka pengetahuan semantik pun terus berkembang.
Misalnya sebagai mahasiswa baru di Fakultas Psikologi, harus mempelajari kosa
kata dari segi psikologis.
3. Tata Bahasa (Grammar)
Tata Bahasa menjelaskan tentang struktur dari bahasa,
dan terdiri dari dua bagian utama, yaitu: morfologi dan sintaksis. Morfologi
berkonsentrasi pada unit terkecil dari makna dalam bahasa. seperti prefiks,
sufiks. dan akar kata. Unit-unit ini disebut morfem. Sintaksis merupakan aspek
dari bahasa mengkhususkan kepada bagaimana kata dikombinasikan kedalam frasa,
klausa, dan kalimat. Misalnya, setiap bahasa memiliki aturan sintaksis yang mengungkapkan
tentang hubungan ketatabahasaan seperti negasi, kepemilikan interogasi, dan
penyusunan subyek dan obyek dalam pernyataan.
4. Pragmatik (Pragmatic)
Pragmatik merupakan seperangkat aturan yang
menspesifikasikan bahasa yang sesuai untuk konteks sosial
tertentu. Jadi, pragmatik secara langsung menyangkut komunikasi yang efektif
dan tepat.
4.1.2 Perkembangan Bahasa pada Masa Kanak-kanak Tengah
Perkembangan Bahasa pada masa kanak-kanak tengah,
meliputi:
1. Kosakata telah berkembang, dimana
kemampuan anak untuk menggunakan kata-kata seperti kata kerja bertambah,
seperti dalam menggambarkan suatu tindakan seperti memukul, menampar,
menggebuk, menghantam. Anak-anak mengerti bahwa sebuah kata memiliki lebih dari
satu makna, dan mengetahui dalam konteks mana itu dimaksudkan.
2. Dalam
penggunaan tata bahasa, anak-anak pada masa ini belum menggunakan kata-kata
berbentuk pasif, bentuk kata yang mencakup kata bantu have, dan kalimat
bersyarat.
3. Pemahaman
anak-anak mengenai aturan sintaks ( setelah usia 9 tahun) menjadi makin canggih
dan struktur kalimat menjadi lebih terelaborasi. Anak-anak yang lebih tua
menggunakan klausa subordinatif dan mereka melihat dampak semantik sebuah
kalimat sebagai suatu keseluruhan, daripada memusatkan pada urutan kata sebagai
isyarat makna.
4. Pragmatik
(pragmatics) merupakan wilayah utama pertumbuhan linguistik selama
masa-masa sekolah. Anak-anak pada usia ini dapat mengenali kegagalan komunikasi
dengan cepat dan melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Komunikasi anak-anak
juga lebih kolaboratif ketika bekerja dengan pasangan yang berjenis kelamin
sama.
4.2 Literasi
Belajar membaca dan menulis membebaskan anak dari
keterbatasan komunikasi tatap muka, memberikan mereka akses kepada berbagai ide
dan imajinasi orang-orang di tempat yang jauh dan pada masa silam. Setelah
anak-anak dapat menerjemahkan objek pada sebuah halaman menjadi pola-pola suara
dan makna, mereka dapat mengembangkan strategi canggih yang kian bertambah
untuk memahami apa yang mereka baca, serta mereka dapat menggunakan kata-kata
tertulis untuk mengungkapkan berbagai ide,pikiran, dan perasaan.
4.3 Membaca
Anak-anak dapat mengidentifikasikan kata yang dicetak dengan dua cara, yaitu:
1. Decoding
Decoding merupakan proses analisis
fonetik dimana kata tercetak diubah menjadi bentuk percakapan sebelum disimpan
dan diingat kembali dari ingatan jangka pendek.
2. Visual-based
retrieval (menyimpan dan mengingat kembali berdasarkan visual)
Visual-based retrieval merupakan
proses menyimpan dan mengingat kembali suara tercetak ketika melihat kata
sebagai suatu keseluruhan.
Kedua cara ini membentuk inti dua pendekatan yang berlawanan untuk membaca
instruksi, yaitu:
1. Fonetik atau
pendekatan kode (phonetic or code emphasis approach)
Yaitu pendekatan untuk mengajar membaca yang
menekankan decoding kata-kata yang tidak familiar.
2. Pendekatan
keseluruhan bahasa (whole-language approach)
Yaitu pendekatan untuk mengajar membaca yang
menekankan penyimpanan dan pengingatan kembali visual dan penggunaan isyarat
kontekstual.
Anak-anak yang dapat memunculkan baik strategi
berdasarkan visual maupun fonetik, menggunakan mengingat kembali visual untuk
kata-kata familiar dan decoding fonetik untuk kata-kata yang tidak familier,
menjadi pembaca yang lebih baik dan serba bisa.
4.4 Menulis
Pemerolehan keterampilan menulis
bersamaan dengan perkembangan membaca. Anak-anak prasekolah yang lebih tua
mulai menggunakan berbagai huruf, angka, dan bentuk-bentuk seperti huruf
sebagai simbol yang mewakili kata-kata atau bagian dari kata-kata, suku kata
atau fonem. Menulis menuntut anak menilai secara mandiri apakah tujuan telah
dicapai atau tidak.
5. ANAK DI SEKOLAH
Pada masa ini, semua aspek perkembangan anak juga
dipengaruhi oleh lingkungan sekolahnya sehingga berkembang ke arah yang lebih
baik. Pengalaman pada awal masa sekolah dapat menentukan bagaimana mereka
kedepannya.
5.1 Memasuki
Kelas Satu
Pada umumnya anak-anak yang akan memasuki kelas satu
akan ada yang merasa semangat ataupun cemas. Awal mereka memasuki sekolah (pada
hari-hari awal) merupakan suatu hal yang penting yang dapat menjadi tanda
bagaimana perkembangan anak tersebut selanjutnya.
Untuk dapat maksimal dalam akademiknya, anak-anak
harus aktif dalam berbagai kegiatan di sekolah, baik itu dalam studi maupun
ekstrakurikuler, karena ekstrakurikuler juga dapat membantu seorang anak untuk
dapat lebih berprestasi di sekolahnya.
5.2 Pengaruh
Prestasi di Sekolah
Selain dipengaruhi oleh karakteristik, prestasi
seorang anak juga dipengaruhi oleh tiap konteks di dalam kehidupan mereka
seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
5.2.1 Sang Anak : Self Efficacy Beliefs and
Gender
Albert Bandura dengan teori kognitif sosialnya
mengatakan bahwa seorang anak dengan self efficacy yang tinggi
pada umumnya memiliki keinginan untuk dapat berprestasi dan lebih berhasil
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak percaya akan kemampuan yang mereka
miliki. Dan pada umumnya juga perempuan cenderung lebih baik dalam hal
berprestasi dibandingkan laki-laki.
5.2.2 Penerapan Pola Asuh
Orang tua yang ingin memiliki anak yang berprestasi
akan lebih membuka situasi belajar bagi si anak. Maksudnya ialah orang tua akan
mengatur semua kegiatan anaknya agar dapat terkontrol, misalnya dengan
membuat time table untuk si anak. Hal ini dapat mendukung
prestasi anak tersebut karena secara tidak langsung perilaku orang tua seperti
ini dapat menimbulkan motivasi bagi anak untuk meningkatkan prestasinya (rasa
peduli orang tua terhadap studi anak dapat menimbulkan rasa peduli anak
tersebut juga terhadap studinya).
Cara orang tua memberikan motivasi kepada anaknya juga
mempengarhi pencapaian si anak. Ada dua motivasi yang digunakan orang tua dalam
memotivasi anaknya, yakni :
a. Eksternal
(ekstrinsik)
Dengan memberikan imbalan atas pencapaian mereka.
Cth: Memberikan mainan baru ketika anak
mendapatkan prestasi yang baik; atau
memberi
hukuman ketika anak mendapat prestasi yang buruk.
b.
Internal (intrinsik)
Dengan memberi pujian atau penghargaan atas pencapaian
mereka.
Cth: Memberi pujian atas hasil karya anak.
Selain
itu, sikap orang tua dalam memberi perhatian kepada studi anaknya juga
mempengaruhi hasil yang akan diperoleh si anak, seperti :
a. Authoritative
Parents
Bersifat “demokratis” dan orang tua memegang harapan
tinggi pada anaknya (berpusat pada anak). Perhatian yang diberikan menimbulkan
sikap internal yang positif pada anak seperti rasa ingin tahu dan ketertarikan
anak terhadap belajar, dan sebagainya.
b. Authoritarian
Parents
Orang tua dengan sikap seperti ini biasanya berpegang
pada motivasi eksternal. Orang tua akan memantau secara ketat ketika anaknya
belajar di rumah, mengawasi setiap kegiatan anaknya, dan sebagainya. Bukannya
meningkatkan prestasi anak, sikap orang tua terhadap anak yang demikian malah
dapat membuat prestasi anaknya menurun karena si anak mendapat tekanan dari
orang tuanya sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Permissive
Parents
Orang tua yang permisif adalah orang tua yang bersifat
acuh tak acuh terhadap prestasi anaknya di sekolah, dan hasil yang diperoleh
juga biasanya akan sama seperti pada authoritarian parents.
5.2.3 Status Sosial-ekonomi
Status sosial ekonomi cukup kuat berpengaruh terhadap
pencapaian dalam pendidikan anak. Status sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan
orang tua dalam menyediakan fasilitas untuk mendukung perkembangan anaknya.
Di samping itu, lingkungan yang dapat merangsang
kognitif juga dapat meningkatkan motivasi intrinsik anak sehingga mampu
mengembangkan si anak terutama dalam pendidikannya menjadi lebih baik.
Namun tidak jarang seorang anak yang berasal dari
keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah memiliki prestasi yang
cukup membanggakan. Yang membentuk anak tersebut menjadi demikian ialah modal
sosial yang ia peroleh yang kemudian dimanfaatkan oleh anak tersebut dan
keluarganya. Berbagai subsidi untuk perawatan anak yang diterima orang tua yang
kurang mampu juga dapat menjadi suatu pengaruh bagi anak untuk dapat memiliki
prestasi yang baik di sekolah.
5.2.4 Sistem Pendidikan
Sepanjang abad ke-20 beberapa filosofi pendidikan
mengubah teori dan praktik pendidikan dari “three R’s” (reading,
‘riting, ‘rithmetic) menjadi “child-centered” yang berpusat pada minat
anak-anak. Pada tahun 1980-an pemerintah beberapa negara mengajukan rencana
untuk meningkatkan prestasi siswa di sekolah dengan cara memberikan lebih
banyak tugas. Pendapat ini pun “memanen” pendapat dari masyarakat. Bagi mereka
yang mendukungnya, mereka memandang bahwa tugas/pekerjaan rumah (homework)
dapat memberikan banyak manfaat bagi anak, salah satunya yaitu untuk dapat
mendisiplinkan pikiran dan mengembangkan kebiasaan kerja yang baik. Namun di
lain pihak terdapat kontra yang berpendapat bahwa tugas-tugas hanya akan
membahayakan kesehatan fisik dan emosional dari si anak serta dapat mengganggu
kehidupan keluarganya.
5.2.5 Lingkungan Sekolah
Keadaan di sekolah ternyata merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Pernyataan ini didukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat yang membuktikan bahwa
suasana dalam belajar di sekolah juga dapat mempengaruhi pencapaian anak dalam
pendidikannya. Kualitas udara, suhu, kelembaban, penerangan, dan mutu suara
yang memadai merupakan hal-hal yang dapat meningkatkan kinerja siswa. Selain
itu, banyaknya peserta didik dalam suatu kelas juga menjadi salah satu
faktornya, dimana berdasarkan penelitian tersebut telah dibuktikan bahwa anak-anak
yang belajar di sekolah yang kuantitas pelajarnya lebih sedikit akan cenderung
lebih sosial dan interaktif, sehingga kualitas belajar-mengajar pun menjadi
maksimal jika dibandingkan dengan mereka yang belajar pada kelas “besar”.
Inovasi Pendidikan Saat Ini
Suatu sekolah di Chicago pada 1996 merapkan
sistem social promotion, yaitu kebijakan tentang kenaikkan kelas
meskipun mereka tidak memenuhi standar akademik. Mereka menggunakan sistem
tersebut karena berpandangan bahwa dengan menerapkan sistem yang normal
(menggunakan standar akademik untuk kenaikan kelas) hanya akan membawa dampak
yang buruk bagi anak yang tinggal kelas. Mereka juga telah melakukan penelitian
dan mendapatkan hasil bahwa kebijakan tinggal kelas di Chicago tidak
meningkatkan nilai siswa, memperburuk nilai siswa di kelas tertentu, dan
meningkatkan jumlah siswa yang dikeluarkan dari sekolah (dropout).
Banyak pendidik yang berpendapat bahwa
pengidentifikasian sejak dini terhadap anak dapat menjadi solusi untuk
menangani masalah ini. Anak yang memiliki masalah dalam prestasinya di sekolah
dapat diberikan program lain yang menawarkan kelas kecil yang lebih terfokus
kepada anak tersebut, dan hal ini telah dibuktikan oleh mereka yang ikut
sekolah musim panas, dimana mereka cenderung lebih mengungguli sejumlah teman
seusia mereka yang tidak mengikutinya.
Orang tua juga memiliki cara sendiri dalam upaya
meningkatkan prestasi anaknya, yaitu dengan charter school ataupun homeschoolling.
Orang tua memilih cara demikian karena pada umumnya khawatir akan lingkungan
sekolah yang buruk dan juga dengan alasan dan pertimbangan yang lain.
Pemanfaatan Komputer dan Internet
Akhir-akhir ini jumlah anak yang menggunakan internet
meningkat pesat. Sebuah penelitian di Amerika Serikat membuktikan pernyataan
ini dimana tiga dari empat anak sudah memiliki komputer dan dapat mengakses
internet.
Hal ini memiliki dampak positif dan negatif bagi si
anak seperti yang banyak kita ketahui selama ini. Salah satu dampak positifnya
ialah terbukanya pikiran anak mengenai dunia luas sehingga pengetahuan umum
anak akan dapat berkembang dengan cepat, namun di sisi lain karena terlalu
luasnya jangkauan ini maka tidak menutup kemungkinan si anak juga dapat
mengakses informasi yang tidak sepatutnya diperolehnya. Selain itu mereka juga perlu
belajar mengevaluasi secara kritis indornasi yang mereka temukan di dunia maya
dan memisahkan fakta dari pendapat dan iklan.
5.2.6 Budaya
Budaya yang diterima anak turut mempengaruhi
prestasinya akademiknya. Misalnya seperti anak Asia yang tinggal di Amerika.
Sebagaimana budayanya –terutama Asia Timur seperti Jepang, Cina, dan
sebagainya, mereka dituntut untuk lebih mengutamakan pendidikan selama mereka
mengenyam pendidikan. Kebiasaan ini bukan diturunkan oleh gen orangtuanya,
melainkan karena dipengaruhi oleh budaya tersebut, sehingga dengan budaya
memprioritaskan pendidikan tersebut mereka mampu meningkatkan prestasi mereka
sendiri.
5.3 Pendidikan
Bahasa Kedua
Metode belajar dengan dua bahasa cukup penting dalam
perkembangan kognitif anak. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian yang
diperoleh oleh anak-anak di Amerika Serikat yang menggunakan dua bahasa dalam
proses belajarnya di sekolah, misalnya dengan program bilingual
education. Program ini memberi pelajaran kepada anak-anak (yang tidak
menggunakan bahasa Inggris) dalam bahasa asli mereka sambil belajar
bahasa Inggris dan kemudian berpindah ke instruksi pengajaran dengan bahasa
Inggris. Pendekatan ini berpendapat bahwa anak-anak berkembang secara akademik
lebih cepat dalam bahasa asli mereka dan kemudian lebih mudah menyesuaikannya
dalam kelas bahasa Inggris.
Pendekatan lain adalah English-immersion,
dimana dalam pendekatan ini bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa kedua yang
instruksi pengajarannya diberikan hanya dalam bahasa Inggris. Pada pendekatan
ini dinyatakan bahwa semakin awal anak-anak belajar bahasa Inggris, semakin
banyak ia akan menuturkannya, dan semakin baik mereka mempelajarinya. Namun
pendekatan ini tidak selamanya melekat dalam diri seorang anak melainkan
keefektifannya akan menurun dari masa anak-anak awal sampai masa remaja akhir.
Pendekatan lain yang kurang lazim ialah two
way or dual-language learning, yaitu anak-anak berbahasa Inggris dan
berbahasa asing belajar bersama-sama dengan bahasa mereka sendiri dan
masing-masing bahasa.
5.4 Anak
dengan Permasalahan Belajar
Keterbelakangan Mental (Mental Retardation)
Keterbelakangan mental merupakan fungsi kognitif yang
berada di bawah normal secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari IQ selotar
70 atau kurang, dan juga defisiensi dalam perilaku adaptif pada usia yang
sesuai yang muncul sebelum umur 18 tahun.
Masalah mengenai keterbelakangan mental ini karena
adanya tren dalam skor IQ, maka untuk menyesuaikannya, tes-tes kecerdasan
dinormakan ulang secara periodik/berkala (dibuat semakin sulit). Maka
pengelompokan anak-anak yang memiliki kecerdasan borderline sebagai
keterbelakangan mental bergantung pada apakah anak telah dites sebelum atau
sesudah pengenalan norma yang lebih kaku.
Banyak hal yang menjadi penyebab keterbelakangan mental
seperti gangguan genetika, kecelakaan yang traumatis, dan sebagainya.
Pencegahan kasus ini dapat dicegah dengan beberapa hal seperti dengan konseling
genetika, perawatan prenatal, amniosentesis, dan sebagainya. Namun dari semua
yang diketahui, 30 sampai 50 persen kasus keterbelakangan mental ini tidak
diketahui penyebabnya.
Banyak anak dengan keterbelakangan mental mendapatkan
manfaat dari sekolah, dimana sekolah akan berupaya untuk meningkatkan kualitas
si anak agar dapat berbaur dan bermanfaat di masyarakat. Untuk kasus yang lebih
parah diperluakan perawatan lebih dan biasanya perawatannya dilakukan di dalam
suatu intuisi.
5.4.1 Kesulitan Belajar (Learn Disabilities –LDS )
Kesulitan belajar adalah gangguan yang
mengganggu aspek belajar dan prestasi belajar yang spesifik. Salah satu
gangguan dalam belajar yang paling umum teridagnosis ialah disleksia (dyslexia)
–merupakan gangguan perkembangan dimana prestasi membaca lebih rendah
dibandingkan yang telah diprediksikan oleh IQ.
Anak-anak yang memiliki kesulitan belajar biasanya
memiliki kecerdasan mendekati rata-rata atau lebih tinggi dan pendengaran dan
penglihatan yang normal, namun mereka memiliki kesulitan dalam memproses
informasi sensoris. Mereka juga kurang berorientasi pada tugas dan tidak fokus,
kurang terorganisir dengan baik sebagai pembelajar dan cenderung kurang
menggunakan berbagai strategi ingatan. Namun di sini bukan berarti mereka yang
memiliki kesulitan pada hal atau bidang tertentu memiliki kesulitan belajar.
Beberapa tidak diajarkan dengan benar, adanya kesulitan membaca atau mendengar
arahan, kurang motivasi dan minat pada mata pelajaran, dan sebagainya.
Anak yang mengalami kesulitan belajar kebanyakan
diidentifikasi mengalami disleksia. Disleksia menghambat perkembangan
keterampilan bahasa lisan dan tulisan serta dapat menyebabkan masalah dalam
menulis, mengeja, dalam tata bahasa, pemahaman bicara, dan juga membaca.
5.4.2 Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder
(ADHD)
Merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian yang menetap, perhatian yang mudah
teralih, impulsivitas, toleransi yang rendah terhadap kegagalan, dan aktivitas
yang sangat banyak pada waktu dan tempat yang salah. ADHD diderita oleh sekitar
2-11 persen atau lebih anak-anak usia sekolah di seluruh dunia. Kemungkinan
menderita ADHD lebih besar pada anak laki-laki daripada perempuan.
Karakteristik ADHD (tidak memperhatikan dan hiperaktif) muncul pada
berbagai kadar tertentu di kebanyakan anak, dan yang menjadi kekhawatiran
adalah ketika karakteristik ini sering muncul dan parah sehingga mengganggu
fungsi anak di sekolah dan di kehidupan sehari-hari.
ADHD memiliki dasar genetika yang penting, dimana yang
diwariskan mendekati 80 persen. Pada awalnya dasar dari perilaku ini
menguntungkan karena membantu penyesuaian diri dengan perubahan lingkungan yang
pesat, namun berubah menjadi masalah ketika tingkatnya sudah berlebihan Masalah
saat kelahiran dapat menjadi penyebab gangguan ini, misalnya karena kelahiran
prematur, orang tua yang mengkonsumsi alkohol, kekurangan oksigen, dan
sebagainya.
Anak dengan ADHD memiliki struktur otak yang kecil di
dalam kotikel yang mengatur perhatian dan mengendalikan dorongan/keinginan.
Mereka cenderung melupakan tanggung jawab, mudah marah dan frustasi, mudah
menyerah, dan sebagainya. Orang tua dapat membantu anak-anak ini dengan memecah
tugas menjadi bagian-bagian yang kecil, memberi dorongan mengenai aturan, serta
memberikan ganjaran langsung untuk pencapaian kecil.
Penanganan ADHD sering dengan menggunakan obat-obatan
dan terkadang dikombinasikan dengan terapi perilaku, dengan konseling,
penempatan pada kelas khusus, dan sebagainya. Namun penanganan dengan
menggunakan obat-obatan belum diketahui apakah memiliki dampak panjang atau
tidak. Salah satu obat yang digunakan untuk menangani ADHD adalah Ritalin.
5.4.3 Mendidik Anak dengan Berbagai
Ketidakmampuan
Salah satu yang dapat dilakukan untuk dapat mendidik anak
dengan ketidakmampuan adalah dengan memberikan program bagi perorangan yang
dirancang untuk tiap-tiap anak sesuai ketidakmampuannya dengan adanya
keterlibatan orang tua. Anak-anak harus dididik dalam “lingkungan yang paling
sedikit batasannya” yang sesuai dengan kebutuhan mereka, yang artinya,
jikalau memungkinkan, anak dimasukkan ke kelas biasa.
Banyak anak ini yang mengikuti program “inklusi”,
yaitu program yang menggabungkan mereka dengan anak-anak normal seharian atau
setengan hari. Inklusi dapat membantu anak dengan ketidakmampuan belajar untuk
hidup bersama dalam masyarakat dan dapat membantu anak-anak normal mengetahui
dan memahami orang-orang dengan ketidakmampuan. Namun masalah yang mungkin
terjadi pada program ini adalah anak-anak dengan kesulitan belajar mungkin
dievaluasi dengan standar yang tidak realistis, mengakibatkan mereka tidak naik
kelas.
5.5 Anak-anak
Berbakat
Yang menjadi tolok ukur dalam mengelompokkan seorang
anak termasuk ke dalam berbakat belum jelas. Hal ini dikarenakan suatu
kreativitas atau bakat seni dipandang berdiri sendiri, sehingga kemampuan lain
masih belum jelas penggolongannya.
5.5.1 Mengidentifikasi Anak Berbakat
Salah satu penilaian seorang anak itu berbakat atau
tidak ialah dengan melihat kriteria konvensional. Seorang anak dengan IQ 130
atau lebih digolongkan sebagai anak yang berbakat. Namun cara ini masih belum
universal karena belum mencakup kemampuan anak dalam bidang lain misalnya anak
yang tingkat kreativitasnya sangat tinggi sehingga jawaban mereka membuat skor
IQ yang diperoleh rendah, anak yang memiliki potensi namun belum berkembang,
dan anak-anak yang memiliki kemampuan khusus (hanya pada bidang tertentu saja).
Namun sekarang tidak sedikit sekolah yang mulai mengadopsi kriteria majemuk
untuk memasukkan anak ke program bakat yang mencakup skor prestasi, rangking,
dan lain-lain, tetapi IQ masih berperan penting dan terkadang menjadi faktor
penentu.
5.5.2 Mendefinisikan dan Mengukur Kreativitas
Kreativitas (creativity merupakan suatu
kemampuan melihat banyak hal dengan sudut pandang yang baru untuk menghasilkan
sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya atau melihat masalah yang gagal
dikenali orang lain dan menemukan pemecahan yang baru dan tak biasa.
Kreativitas yang tinggi tidak harus berkaitan erat dengan kecerdasan akademi
yang tinggi (IQ).
Menurut J. P. Guilford, berpikir dibedakan atas dua
bentuk, yaitu:
1. Berpikir
konvergen, yaitu bentuk yang diukur oleh tes IQ,
untuk mencari jawaban tunggal yang benar.
2. Berpikir
divergen, menghasilkan kemungkinan baru dalam rentang yang lebar.
Berbagai tes kreativitas mengukur konsep berpikir divergen.
Salah satu contoh tes kreativitas yang dikenal luas adalah The Torrance
Test of Creative Thinking. Suatu masalah tentang tes ini adalah
sebagian skor bergantung kepada kecepatan, sedangkan kecepatan bukanlah ciri
utama dari kreativitas. Walaupun hasilnya cukup reliabel, namun kevalidannya
masih dipertanyakan, misalnya apakah mereka juga mengidentifikasi anak yang
kreatif dalam kehidupan sehari-hari. Gliford juga mengatakan bahwa berpikir
divergen mungkin saja bukan faktor satu-satunya atau bahkan paling penting
dalam kinerja kreatif.
5.5.3 Mendidik Anak Berbakat
Ada program khusus yang dapat menjadi pilihan bagi
pengembangan diri anak yang berbakat seperti :
1. Enrichment,
yaitu memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan melalui kelas
ekstra, proyek penelitian, kunjungan lapangan, atau pelatihan oleh para ahli.
2. Acceleration,
merupakan pendekatan terhadap pendidikan anak berbakat yang menggerakkan mereka
melalui kurikulum dengan kecepatan pesat yang tidak biasa. Acceleration ini
sering direkomendasikan untuk anak yang sangat berbakat, untuk mempercepat
pendidikan mereka melalui masuk sekolah lebih dini, pelajaran spesifik, dan
sebagainya.
Program-program tersebut tidak hanya mampu
meningkatkan prestasi anak dalam bidang akademik, tetapi juga cenderung
meningkatkan konsep diri dan penyesuaian sosial si anak.
Namun demikian, beberapa pendidik tidak mendukung
adanya pengelompokan anak yang berbakat dan tidak. Mereka mengharapkan semua
anak mendapatkan manfaat dari dorongan di bidang yang menjadi minat dan
kemampuan mereka. Pengembangan kecerdasan dan kreativitas pada anak dapat
membantu mereka untuk memanfaatkan dan lebih mengembangkan potensinya. Tingkat
kegiatan yang mereka lakukan akan mempengaruhi konsep diri dan aspek
kepribadian lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar