Minggu, 02 Juni 2013

DINAMIKA KEBUDAYAAN (ANTROPOLOGI)



A. DINAMIKA KEBUDAYAAN
              1. Kemampuan berubah dari kebudayaan untuk menyesuaikan diri dengan                                keadaan yang senantiasa berubah

              Mengapa kebudayaan berubah ? Menurut Haviland (1993a: 250-251) kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa adanya kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti berubah karena bermacam-macam sebab, salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah.
               Koentjraningrat (1990a: 89) melihat bahwa sejak lahirnya, Ilmu Sosiologi   telah banyak memperhatikan masalah perubahan kebudayaan. Pada abad ke-19 telah       ada perhatian terhadap kemajuan kebudayaan manusia, sehingga dengan demikian      telah lahir pula teori-teori tentang evolusi kebudayaan, yaitu perubahan kebudayaan           bangsa-bangsa di dunia, mulai dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai dengan ke             bentuk-bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Pada masa menjelang Perang           Dunia II, yaitu masa sekitar tahun 1930 dan terutama pada waktu-waktu setelah itu,          diantara para ahli sosiologi telah timbul perhatian baru terhadap masalah perubahan   kebudayaan diantara berbagai bangsa di Afrika, Asia, Osenia, dan Amerika.
               Hal ini disebabkan karena pengaruh sistem ekonomi, pendidikan, dan         organisasi sosial yang dibawa dari orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat   sebagai penjajah bangsa-bangsa tersebut. Namun, perhatian dan hasrat yang besar          untuk melakukan penelitian mengenai gejala perubahan kebudayaan oleh para ahli      sosiologi Ero-Amerika tersebut lebih didasarkan kepada timbulnya gejala peningkatan       kepandaian, kemampuan melawan sistem kolonialisme, dan kesadarna nasional   diantara bangsa-bangsa tersebut, yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup     bagi kolonialisme itu sendiri.
               Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling        hubungan pera nan-peranan dari para warganya, di mana peranan-peran tersebut            dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara      peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya          terwujud sebagai pranata-pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap    masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang           dimliki oleh masyarakat lainnya.
2. Proses Internalisasi
          Menurut Koentjaraningrat (1996: 142-143) proses internalisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup individu, yaitu mulai dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Sepanjang hayatnya seorang individu terus belajar untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang kemudian membentuk kepribadiannya.
3. Proses Sosialisasi
          Talcott Parson (dalam Koentjaraningrat, 1996: 143-145) menggambarkan proses mengenai kebudayaan sebagai bagian dari proses sosialisasi individu. Semua pola tindakan individu-individu yang menempati berbagai kedudukan dalam msyarakatnya yang dijumpai sesorang dalam kehidupannya sehari-hari semenjak ia dilahirkan, dicerna olehnya sehingga individu tersebut pun akan menjadikan pola-pola tindakan tersebut sebagai bagian dari kepribadiannya.
          Oleh karena itu untuk dapat memahami suatu kebudayaan, mengamati jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami sebagian besar individu dalam suatu kebudayaan merupakan sustu metode yang sejak lama diminati oleh para ahli sosiologi
4. Proses Enkulturasi
          Menurut Koentjaraningrat (1996: 145-147) proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adapt, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan, yaitu dalam lingkungan keluarga, dan kemudian dalam lingkungan yang semakin lama semakin meluas.
Pada awalnya seorang anak kecil mulai belajar dengan cara menirukan tingkah laku orang-orang yang berada di sekitarnya, yang lama kelamaan menjadi pola yang mantap, dan norma yang mengatur tingkah lakunya “dibudayakan”. Selain dalam lingkungan keluarga, norma-norma tersebut dapat dipelajari dari pengalamannya bergaul dengan sesam warga maysarakat dan secara formal di lingkungan sekolah.
B.  Konsep-Konsep Dinamika Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi;
2. Evolusi kebudayaan dan difusi;
3. Proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi;
4. Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.
1. Evolusi Kebudayaan dan Difusi
1.1. Evolusi Kebudayaan
Evolusi kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1996: 142) adalah proses perkembangan kebudayaan umat manusia mulai dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana sampai yang semakin lama semakin kompleks, yang dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Proses evolusi menurut Koentjaraningrat (1996: 147) kebudayaan dapat dianalisis secara mikro maupun secara makro. Proses kebudayaan yang dianalisis secara mikro (detail) dapat memberikan gambaran mengenai berbagai proses yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Proses evolusi sosial-budaya secara makro adalah proses yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang.
Di dalam Ilmu Sosiologi proses ini hanya memperhatikan perubahan-perubahan besar yang terjadi.
1.2. Difusi
Difusi menurut Haviland (1993a: 257) difusi adalah penyebaran adapt atau kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain.
Menurut Koentjaraningrat (1996: 150) Ilmu Paleoantropologi dapat memperkirakan bahwa makhluk manusia yang pertama hidup di daerah Sabana beriklim tropis di Afrika Timur. Manusia pada saat ini ternyata telah menduduki hampir seluruh muka bumi dengan berbagai jenis lingkungan iklim yang berbeda-beda. Hal ini hanya dapat terjadi dengan proses pengembangbiakan, migrasi, serta adaptasi fisik dan sosial budaya, yang telah berlangsung salam beratus-ratus tahun lamanya.
Selanjutnya di katakan oleh Koentjaraningrat bahwa migrasi dapat berlangsung lamban dan otomatis maupun secara cepat dan mendadak. Migrasi yang lamban dan otomatis berkembang sejajar dengan peningkatan jumlah umat manusia di dunia, yang konsekuensinya membutuhkan daerah yang semakin lama semakin luas.
2. Proses Pengenalan Unsur-Unsur Kebudayaan Asing
2.1. Akulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) adalah istilah dalam sosiologi yang memiliki berbagai makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
a. Proses Akulturasi
Proses akulturasi, Koentjaraningrat lebih lanjut menjelaskan bahwa proses akulturasi memang sudah terjadi sejak zaman dulu kala, akan tetapi akulturasi dengan sifat yang khusus baru terjadi ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi pada awal abad ke-15 dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin.
G.M. Foster (dalam Koentjaraningrat 1990a: 97) meringkas proses akulturasi yang biasanya terjadi bila suatu kebudayaan terkena kebudayaan asing bahwa :
v Hampir semua proses akulturasi mulai dari golongan atasan yang biasanya tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di daerah pedesaan. Proses tersebut biasanya di mulai dengan perubahan sosial-ekonomi.
v Perubahan dalam sektor ekonomi hampi seluruh menyebabkan perubahan yang penting dalam asas-asas kehidupam kekerabatan.
v Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembangan ekonomi uang merusak pola gotong royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem pengerahan tenaga kerja yang baru.
v Perkembangan sistem ekonomi utang juga menyebabkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan makan dengan segala akibat dengan aspek gizi, ekonomi, maupun sosialnya.
v Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang tidak seragam dalam semua semua unsur dan sektor masyarakat, sehingga terjadi keretakan masyarakat.
v Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap dalam proses akulturasi.
b. Kontra Akulturasi
Kontra akulturasi, menurut Koentjaraningrat (1990a: 112) dalam suatu masyarakat yang terkena proses akulturasi dan berada dalam transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan masa kini, berikut segala ketegangan, konflik, dan kekacauan sosialnya, tentu banyak individu atau golongan sosial yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan krisis seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan hidup dalam suasana tegang yang terus menerus. Namun, mereka juga tidak suka dengan pembaharuan, mereka itu adalah orang-orang “kolot”.
Golongan kolot dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi yang cukup kuat, mampu menyusun kekuatan untuk menentang unsur-unsur baru dan menghentikan proses akulturasi untuk sementara waktu.
Sebaliknya jika golongan ini tidak kuat menghadapi proses akulturasi yang sudah sedemikian jauh, maka seringkali mereka berusaha untuk menghindarinya. Mereka akan mencari kepuasan batin seakan-akan menarik diri dari kehidupan masyarakat nyata, dan bersembunyi dalam dunia kebatinan mereka, di mana mereka dapat memimpikan zaman kebahagiaan masa lampau.
Fenomena ini adalah awal dari gerakan kebatinan kontra-akulturasi, suatu gejala masyarakat yang timbul dalam zaman transisi kebudayaan untuk menentang proses akulturasi.
c. Permasalahan Psikologi Dalam Proses Akulturasi
Koentjaraningrat (1990a: 105-107) menerangkan bahwa kita dapat mengerti bahwa perbedaan proses akulturasi dalam sutu kebudayaan (yaitu akulturasi diferensial) juga dapat disebabkan karena perbedaan kepribadian individu-individu dengan watak kolot, tetapi ada juga yang berwatak progresif masalah sebab musabab yang telah mendalam mengenai adanya individu yang lebih progresif dari yang lain, dan masalah bagaimana cara merangsang agar individu-individu yang progresif dalam suatu masyarakat menjadi lebih menonjol telah menjadi perhatian beberapa ahli sosiologi psikologi dari Amerika.
Beberapa ahli sosiologi meragukan adanya watak kolot atau watak progresif yang dapat mempengaruhi suatu proses akulturasi dalam masyarakat, yang karena itu mengakibatkan gejala akulturasi diferensial. Sifat yang kolot atau progresif tidak ditentukan oleh kepribadian individu secara psikologi, tetapi oleh keadaan sosial di mana individu yang bersangkutan itu berada.
Para ahli yang berpendirian demikian berpendapat bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang bersifat kolot adalah mereka yang sudah memiliki kedudukan yang baik dalam masyarakat. Mereka tidak menyukai perubahan terjadi, karena dengan demikian keadaan yang baru akan mengubah kedudukan yang sudah dimilikinya.
Sebaliknya individu yang progresif adalah individu yang belum atau tidak memiliki kedudukan yang baik. Pendapat ini pernah diuji oleh penelitian E. Vogt. Vogt meneliti 12 orang bekas pejuang tentara Amerika Serikat yang berasal dari suku-suku Indian Navaho. Ke 12 orang tersebut mempunyai latar belakang yang sama, mengalami pendidikan yang sama, mempunyai pengalaman pertempuran yang sama pula. Akan tetapi sewaktu mereka keluar dari tentara ada yang hidupnya kembali seperti dulu, menjadi penggembala domba. Adapula yang hidupnya tidak teratur dan adapula beberapa yang telah meninggalkan masyarakat Navaho dan mempunyai kedudukan di tengah-tengah masyarakat orang bule.
Penelitian Vogt ini dilakukan dengan menggunakan tes psikologi, dan berhasil menyimpulkan bahwa orang-orang Navaho yang sebelumnya memiliki kehidupan yang memuaskan di tengah masyarakat Navaho, kembali menjadi orang kolot, sedangkan mereka yang dulunya belum memiliki kedudukan tetap, menjadi orang yang progresif atau menjadi kacau.
2.2. Asimilasi
Asimilasi menurut Koentjaraningrat (1996: 160) adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Biasanya suatu asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dengan golongan minoritas. Dalam proses ini, biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaan lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah dikaji, diketahui bahwa pergaulan intensif saja seringkali belum tentu mengakibatkan terjadinya suatu proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan tersebut. Contohnya adalah orang-orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi secara berabad-abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam msyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaannya sendiri lebih unggul dari kebudayaan yang dihadapi.
3. Proses Pembauran atau Inovasi atau Penemuan Baru
Inovasi adalah suatu proses pembauran dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal serta penataan kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru, sehingga terbentuk suatu sistem produksi baru dari produk-produk baru. Dengan demikian, inovasi adalah pembauran unsur teknologi dan ekonomi dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1996: 161).
Selanjutnya dikatakan Koentjaraningrat, bahwa suatu proses inovasi tentu berkaitan dengan penemuan baru dalam teknologi yang biasanya merupakan suatu proses sosial yang bertahap dari discovery (penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik suatu alat atau gagasan baru dari seorang atau sejumlah individu) menuju invention. Discovery baru dapat menjadi invention apabila suatu penemuan baru telah diakui, diterima, dan diterapkan oleh suatu masyarakat.
Proses berlangsungnya tahap discovery sampai pada tahap invention menurut Koentjaraningrat (1990: 109) seringkali berlangsung lama dan kadang-kadang tidak hanya menyangkut satu individu, yaitu si penciptanya yang pertama, melainkan dapat melibatkan serangkaian individu yang terdiri dari beberapa pencipta.
Hal yang menjadi daya tarik bagi para ahli sosiologi adalah faktor yang mendorong individu dalam suatu masyarakat untuk memahami suatu upaya yang akan menuju ke suatu penemuan baru. Barnett (dalam Koentjaraningrat, 1990: 109) mengajukan pendapat bahwa para individu yang “tidak terpandang dalam masyarakat atau yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya” malah cenderung yang sering termotimavasi untuk mengadakan pembaruan dalam kebudayaan, dan menjadi pendorong terjadinya suatu penemuan baru yang kemudian terjadinya suatu inovasi.
Koentjaraningrat (1990: 109) menambahkan bahwa untuk mendorong kreativitas diperlukan pula oleh tumbuhnya, yaitu.
1. Kesadaran para individu akan adanya kekurangan-kekurangan dalam kebudayaan mereka;
2. Mutu dari keahlian para individu yang bersangkutan;
3. Adanya sistem perangsang dalam masyarakat yang mendorong mutu;
4. Adanya krisis dalam masyarakat.
Haviland (1993a: 253) membagi penemuan baru (discovery) menjadi dua, yaitu penemuan primer dan penemuan sekunder. Penemuan primer adalah penemuan secara tidak sengaja (kebetulan) suatu prinsip baru, sedangkan penemuan sekunder perbaikan-perbaikan yang diadakan dengan menetapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui.
Sebuah contoh penemuan primer sebagaimana yang diuraikan oleh Haviland (1993a: 255-256) adalah penemuan pembakaran tanah liat yang membuat bahannya menjadi keras seterusnya. Dapat diduga bahwa sering terjadi pembakaran tanah liat secara tidak sengaja dalam api untuk memasak pada zaman dahulu. Akan tetapi, kejadian secara kebetulan tersebut bukan suatu penemuan kalau orang tidak mengetahui bahwa penemuan itu dapat diterapkan untuk suatu keperluan.
Kira-kira 25.000 tahun yang lalu orang melihat cara penerapannya, sebab patung-patung kecil dibuat dengan tanah yang dibakar. Akan tetapi, orang tidak membuat bejana tembikar, dan rupa-rupanya penemuan tersebut tidak sampai ke Timur Tengah. Kalau terjadi, hal tersebut tidak sampai berakar. Baru pada suatu waktu di antara 7.000 dan 6.500 tahun S.M. diketahui adanya penerapan pembakaran tanah liat di Timur Tengah dengan dibuatnya wadah-wadah dan bejana untuk memasak, yang murah, awet, dan mudah dibuat.
Rekonstruksi perkembangan wadah-wadah yang tertua, yang telah diketahui terjadi sebagai berikut. Menjelang 7.000 tahun S.M. dalam tempat memasak di Timur Tengah terdapat wadah yang tepinya terbuat dari tanah liat, yang dibuat bersatu menjadi bagian dari lantai, dan tungku serta perapian dari tanah liat. Dalam situasi yang demikian itu terjadinya pembakaran tanah liat secara tidak sengaja tidak mungkin dapat dihindarkan.
Pada zaman itu tanah liat juga digunakan dalam pembangunan rumah, untuk membuat patung-patung kecil, dan untuk membuat dinding lubang-lubang penyimpanan. Jadi, walaupun orang sudah biasa bekerja dengan menggunakan tanah liat, tidak ada pembakaran untuk mebuat wadah kecuali sebagai dinding lubang penyimpanan. Sebagai wadah, yang biasanya digunakan adalah wadah dari batu, keranjang, atau kantong kulit.
Dengan demikian penemuan tembikar sebagai penemuan primer, dalam proses penemuannya banyak dijumpai teknik-teknik yang sudah dikenal atau diketahui sebelumnya, yaitu teknik atau cara pembakaran tanah liat yang dipakai untuk keperluan selain tembikar. Dengan cara yang sudah diketahui, maka tanah liat dapat dibentuk menjadi bentuk keranjang biasa, bentuk kantong kulit, atau berbentuk seperti wadah batu dengan cara dibakar dalam api terbuka atau di dalam tungku yang juga digunakan untuk memasak makanan.

1 komentar: